----
“Ibu, aku mulai
mendapatkannya.”
Yagami yumeno, siswa kelas 3-A, nomor absen 14,
dengan peringkat 114 dari 350 siswa disekolah ini. Yah dia mulai memberikan
warna dihidupku, ini sudah kesekian kalinya kami pergi bersama. Beberapa bulan
lalu kami memang tidak sengaja bertemu saat upacara penerimaan siswa baru. Dia
duduk tepat disebelahku dengan wajah sedikit kesal karena sebelumnya aku sempat
tidak sengaja memeluknya.
“Hei yumeno, sapa dia.” bisik emi
pada yumeno.
“H.. hai takishima.” Sapa yumeno
dengan wajah sedikit malu.
“Ha apa kau dengar? Dia memanggilmu
dengan nada malu-malu? Hahaha kau terlalu menunjukkan sisi imutmu yumeno.” goda
emi yang membuat wajah yumeno tambah memerah.
“Haaa? Aa..ku hanya memanggilnya
agar terlihat akrab.”
“Heee? Terlihat akrab? Hey yumeno, apa kau sedang
ingin mendekati teman baikku? Apa kau sudah merasa tangguh bisa mendekatinya?
Apa kau tidak tahu bahwa dia teman baik dari seorang ahli baseball di sekolah
ini?” kata emi dengan nada sedikit menggoda
“Heeeeeee.... Apa kau sedang
menantangku....?”
“Aaa coba kau lihat,kaori. Dia
terlihat sombong karena memanggilmu dengan nada imut seperti tadi?”
“Emiiiiiiiii!!! berhenti
menggodaku.”
Aku hanya tersenyum melihat yumeno.
Aku sedikit merasa bahwa sepertinya dia akan menjadi warna baru didalam
hidupku. Sebenarnya kami juga tidak terlalu dekat, hanya saja dalam 1 tahun
ini, hanya dia yang ada dipikiranku. Yumeno adalah teman masa kecil emi dan
yumeno juga dekat dengan emi, jadi aku bisa mengenalnya sedikit demi sedikit.
Aku sering tertawa setiap kali melihat emi dan yumeno bertengkar.
“Ano ... sampai kapan kalian akan
bertengkar. Ayo kita beli paketnya.” ajakku yang sedang mencoba memisahkan
mereka berdua.
“Hm .... Ingatlah yumeno... kau
diselamatkan oleh malaikatku. Jika saja kaori tidak memisahkan kita, maka kau
akan .... HAHAHAAAHA.” ucap emi yang tertawa dengan wajah yang terlihat seperti
ingin menyiksa lebih lama.
“Hentikan ekspresi itu!!”
“Hey kaori, kenapa kau tidak ikut
klub?”
“Klub? Haa aku belum tertarik untuk
mengikuti klub. Bagaimana denganmu, yumeno? Kenapa kau tidak memilih klub
sepakbola?”
“Haaaa yumeno mana bisa mencetak
gol!”
“Hoy hoy emi.. apa kau mencoba untuk
mengajakku bertengkar lagi?”
Haa.. mereka kembali bertengkar ...
dengan keadaan yang sekarang, entah kenapa aku sedikit merasa sedikit bisa
tersenyum.
“Ahhh eskrimnya sangat lezat. Ayo kita
makan lagi nanti.”
“Yaa.. ayo kita beli lagi.”
“Oke.. yah kalo begitu aku pulang lewat sini. Sampai
ketemu besok.” Ucap emi yang meninggalkan kami berdua. Dibawah langit senja,
kami menyusuri sungai yang memantulkan warna jingga dari langit senja.
“Yah takishima, apa kau tahu
bagaimana perasaanku pada saat pertama kali bertemu denganmu?” yumeno yang
menghentikan langkahnya.
“Hmm aku tidak tahu, tapi yang pasti
kau kesal karena tiba-tiba saja aku memelukmu.”
“Yah itu memang sangat memalukan,
aku tidak memikirkan bahwa aku bertemu denganmu dalam keadaan seperti itu.”
“Hmm maafkan aku, aku tidak tahu
kenapa tiba-tiba aku bertingkah gila seperti itu. Jika saja emi tidak berteriak
dan mengejarku, mungkin aku tidak akan memelukmu seperti itu.”
“Tapi, sejak saat itulah .. aku
merasa bahagia, mungkin karena melihat diriku yang sekarang, aku bahagia karena
dikelilingi oleh orang yang tidak pernah melihat masa laluku. Aku sangat
bahagia sejak saat itu, aku tidak merasa terbebani dengan masa laluku dan ...”
“Takishima?”
“Yahh?”
“Apa kau sekarang sedang mencoba mencari
warna baru di dalam hidupmu?”
“Hm... iyaa.”
“Mungkin untuk sekarang, kau sudah menemukannya
....” ucapan yumeno membuatku terkejut, aku terpaku untuk beberapa saat setelah
mendengar ucapannya.
“Tapi ...”
“Tapi?”
“Tapi kota ini terlalu kecil untuk
mewarnai hidupmu ... dan aku rasa bukan aku orang yang tepat memberikanmu warna
baru.”
Aku terhempas mendengar ucapannya.
Apa maksudnya ini? Ditolak sebelum mengatakannya? Apa maksudnya mengatakan
semua ini dibawah warna jingga yang indah ini?
“Apa maksudmu ini? Apa kau berfikir
aku ....”
“Hmm.. aku menyukaimu, Takishima.
Mungkin, dengan perasaanku ini, kau melihatku sebagai orang yang memberikan warna
baru dihidupmu. Tapi sebenarnya, aku hanya ...... “
“Ya yumeno, apa kau mau menjadi
pacarku?” dengan yakin, aku mengatakannya. Aku mengatakannya dibawah cahaya
jingga yang indah. Dengan bunyi air sungai yang mengalir, yumeno menatapku
dengan mata yang berbinar-binar. Beberapa saat kemudian, yumeno menjawab
pertanyaanku tadi.
Cukup, hentikann....
Aku terhempas, sudah berapa kali aku
terhempas dalam rasa sakit. Tapi entah kenapa, ini lebih sakit daripada
sebelumnya. Sudah saatnya aku memberontak, air mataku keluar, mengalir dengan
derasnya. Ku lihat yumeno juga mengeluarkan air mata.
“Neee yumeno, ayo kita akhiri saja
semuanya. Terima kasih banyak untuk hari ini. Te...rima kasih, yumeno.”
Aku meninggalkannya, aku
meninggalkan warnaku. Aku merasa, mungkin sudah saatnya aku kembali dalam
balutan abu-abu, aku mulai mengerti kenapa saat malam itu ibu menangis
terisak-isak. Mungkin ibu juga mengalami apa yang aku alami sekarang.
“Yumeno, ..”
“I..ya?”
“Mungkin
saat ini, aku sudah berharap besar padamu. Ini semua salahku yang terlalu mudah
menyimpulkan perasaan seseorang. Oleh karena itu….
“Berjanjilah padaku …
jika suatu saat kita berpisah dan akhirnya kita bertemu lagi, aku mohon … jangan pernah
untuk melihat kebelakang. Jangan pernah mencoba untuk mengulangnya”
Aku
mulai berlari meninggalkan yumeno, aku tidak peduli jika ia tidak mengejarku.
Aku .. aku sungguh tidak peduli dengan semuanya. Sungguh aku tak peduli dengan
warna baru yang ibu bicarakan dulu. Aku sudah terbiasa seperti ini, disakiti,
tidak dipedulikan, ditinggalkan, di tempatkan pada posisi yang menyakitkan,
dibiarkan menangis sendiri dalam kegelapan, di biarkan terpuruk dalam rasa
jatuh yang menyakitkan dan dikhianati.
Semenjak tadi sore, aku mematikan Hpku, aku hanya
tidak ingin ada orang yang tahu dengan keadaanku sekarang.
“Bagaimana, kaori? Apa kau sudah menetapkan
pilihan?”
“Hm, sudah. Aku ingin ikut dengan ayah.
Aku ingin pindah sekolah.”
Mendengar ucapanku, ayah langsung
berdiri dan memelukku.
“Haaa syukurlah, ayah senang mendengar keputusanmu.
Apa kau baik-baik saja dengan keputusanmu ini?”
Pertanyaan ayah membuatku menangis. Kenapa aku ini?
Aku seperti mengutuk diriku sendirian, kesepian ini membuatku harus menderita.
Apa salahku? Kenapa aku harus seperti ini? Kenapa harus ayah dan ibu yang harus
menderita?
“Aku tidak apa-apa yah, aku baik-baik saja.” aku
melepaskan pelukannya dan berlari menuju kamarku. Kuhempaskan tubuhku diatas
ranjang, ku peluk erat boneka lamaku, ku tenggelamkan wajahku agar tidak
terdengar bahwa aku sedang menangis. Aku benci dengan apa yang aku alami tadi.
Yumeno, kau menyakitiku
“Aku
hanya takut, jika akhirnya, warnaku akan semakin membuat warna dihidupmu
menjadi gelap dan pekat. Maafkan aku, aku menyukaimu. Tapi aku tidak bisa
menggapaimu, aku tidak ingin kau ataupun aku akan kecewa dengan semua ini.
Maafkan aku, mungkin kau akan menemukan sesuatu yang lebih bisa mewarnai
kehidupanmu.”
Posting Komentar