----
Aku
sudah terbiasa seperti ini, dimulai sejak umurku 4 tahun. Disakiti, tidak
dipedulikan, ditinggalkan, di tempatkan pada posisi yang menyakitkan, dibiarkan
menangis sendiri dalam kegelapan, di biarkan terpuruk dalam rasa jatuh yang
menyakitkan. Tak salah lagi, jika aku merasa bahwa dunia ini hanya di penuhi
warna .... ABU-ABU.
“Maafkan
kami, kami memang harus berpisah.” Ucap ayah membelai rambutku dengan
lembut, sambil memeluk boneka beruang yang diberikannya pada ulang tahunku
kemarin.
“Kaori
sayang, kau harus memilih. Kau ingin ikut ayah atau ibumu?” ucap ayahku
yang mengenggam erat tanganku. Dengan tatapan yang lembut, aku melihatnya ...
ya aku melihatnya. Air mata ayah mulai mengalir sambil bertanya padaku. Aku
tidak menjawab pertanyaan ayah. Aku hanya berdiri dan menunjuk ke arah ibuku.
Ibuku yang berdiri didekat jendela langsung berbalik dan menatapku. Dan aku
juga melihatnya, air mata ibu yang juga keluar.
Aku tak tahu apa yang terjadi.
Sungguh aku tidak tahu apa yang sedang aku alami sekarang, tapi satu hal yang
aku tahu, keluarga kami tidak dalam keadaan baik. Ibu langsung menyuruh
pengasuhku untuk membawaku kekamar. Aku hanya bisa mengikuti ibuku, aku lihat
kakak berdiri dibalik pintu dan aku juga melihatnya. Air mata kakak, air mata
kakak juga keluar. Kenapa mereka semua menangis? Kenapa ayah, ibu dan kakak
menangis? Kenapa hanya aku yang tidak menangis? Sampai hari itu berakhir pun,
aku tidak tahu apa yang sedang terjadi.
“Kaori, aku akan merapikan bajumu.
Tolong duduk disini sebenttar.” kata bibi yosi yang mendudukkan ku didekat
jendela. Aku bisa lihat dengan jelas bekas basah akibat hujan yang tadi turun
dengan derasnya.
Untuk beberapa saat, bibi yosi sudah
siap merapikan bajuku,. Beberapa tas besar sudah ada dihadapanku.
“Bibi? Apa yang terjadi? Kenapa
ayah, ibu dan kakak menangis? Kenapa hany..a aku yang ti..dak menangis?”
tanyaku dengan bibi, dan saat itu juga aku menangis. Aku menangis dalam pelukan
bibi yosi yang hangat, aku menenggelamkan wajahku didalam pelukan bibi yang
tidak menjawab pertanyaanku.
Tapi, sejak saat itu
yang aku tahu bahwa, keluargaku telah hancur
10 tahun kemudian ...
Aku sedang diambang
keputusasaan, sudah tidak ada lagi pelukan untukku. Didalam sana, ibuku sedang
mendapatkan pertolongan dari dokter dan para suster, mereka terlihat sangat
sibuk dengan ibukku. Apa kau sadar bahwa sekarang aku sedang sendiri? Yah itu
benar, beberapa bulan setelah aku meninggalkan rumah itu, bibi yosi, pengasuhku
dari kecil, telah meninggal dunia akibat
sakit yang ia derita. Semenjak itulah, aku hidup berdua dengan ibuku di apartemen
miliknya. Sudah jadi hal biasa, jika ibu berjuang sendirian, tanpa bantuan
ayah.
“Mulai sekarang,
kau harus bisa berdiri sendiri. Maafkan ibu yang tidak bisa menjadi ibu yang
sempurna untukmu, tolong maafkan ibu ... tolong maafkan ibumu ini.bila sekarang kau hanya bsa
melihat dunia dengan yang dipenuhi warna abu-abu, tapi sayang ... sudah saatnya kau mulai mencoba dengan warna
baru dan sudah saatnya pula kau berhenti untuk melihat kebelakang. Jalanilah
hidupmu yang sekarang, masih ada hari esok yang harus kau jalan, ibu hanya
berharap kau tidak pernah menyesal karena dilahirkan ke dunia ini. Sungguh, ibu
sangat mencintaimu, ibu sangat menyayangimu. Ibu ... Ibu hanya berharap kau
bisa menemukan sesuatu yang bisa memberikan warna di hidupmu.”
Hanya
itu kata terakhir yang aku ingat semenjak ibuku sudah tiada. Selama 3 tahun
kebelakang, aku sudah terlalu banyak bersedih atas kepergian dua orang yang
menjadi tempatku untuk mengadu. Sejak saat itu pula, ayah jadi sering
memperhatikanku, ia jadi sering pulang dan menginap dirumah. Sesekali ia
mengajak kakakku dan menyuruhnya untuk menemaniku, tapi sejak malam dimana aku
ditempatkan di posisi sulit, aku sudah semakin jarang berbicara dengannya. Membicarakan
masalah tujuanku setelah SMP, bagaimana pergaulanku disekolah atau membahas
yang sering dibahas oleh ayah dan anak pada umumnya. Pernah suatu malam aku
melihat ayah seperti merasakan sakit ketika melihat album lama kami. Ia memeluk
dengan erat sambil menahan tangisannya. Itu pemandangan biasa bagiku jika ia
ada dirumah. Dalam benakku, apakah ia tahu sudah sejauh mana penderitaan yang
dialami oleh ibuku?
Aku
hanya berharap tuhan membalas semuanya dengan kebaikan.
“Kaori,
bagaimana sekolahmu?” tanya ayah padaku ditengah makan malam.
“Biasa
saja.” Jawab singkatku
“Oh...
begitu rupanya.” Sambut ayah dengan nada lesu
“Semuanya
masih sama saja, semua masih terlihat abu-abu bagiku. Aku sudah kenyang.”
Ucapku yang langsung meninggalkan ayah dan kakakku di ruang makan.
Di sekolah ...
“Hey takishima, toko roti didekat
stasiun sedang mengeluarkan paket untuk siswa. Apa kau mau mencobanya?” tanya emi
dengan mata bersinar-sinar.
“Eee? Apa kau tidak ada kegiatan
klub sepulang sekolah nanti?” jawabku yang sedang mengeluarkan bekal makan
siang.
“Kami sedang libur untuk beberapa
hari, kau tahu ketua klubku? Dia sedang terkena diare akibat salah makan, entah
kenapa ia mengistirahatkan klub kami dari latihan untuk beberapa saat.”
“Hm
.. jika hanya kita berdua, mungkin kurang asik. Bagaimana jika aku.. ahh tidak
mungkin. Aku tidak punya teman lagi selain dirimu. Hah... bagaimana jika kau
mengajak temanmu yang lain? Mungkin mereka juga tertarik dengan paket di toko
roti itu.”
“Hm ide yang bagus, baiklah aku akan
mencari orang untuk pergi bersama kita nanti.” kata emi yang langsung berlari
kearah luar.
“Emiiii. Bagaimana dengan makan
siangmu?”
Ini sudah kesekian kalinya aku menghabiskan
waktuku yang singkat dengan teman sekolahku.
“Kaori, jangan lupa pulang sekolah
nanti.” Bisik emi yang membuatku merinding.
“Ya.. aku tidak lupa.”.
Aku
sudah mulai terbiasa dengan keadaanku sekarang, saat aku masih SD dulu aku
sering menjauhi teman sekolahku, aku juga sering melewatkan perjalanan sekolah
untuk menghindari mereka, tapi sekarang aku mulai belajar untuk membuka diri,
mungkin agar aku bisa melihat dunia ini. Walaupun, aku masih harus dihantui
dengan rasa sakit setiap kali aku memejamkan mata. Tapi untuk sekarang, aku
sudah mulai merasa damai.
“Haa
akhirnya pulang juga. Hey kaori, nanti tunggu aku digerbang sekolah.” kata emi
yang langsung berlari meninggalkanku dikelas.
“Baiklah
... jangan membuatku menunggu terlalu lama.”
Aku
mulai menyusuri koridor dan menuju loker sepatu, aku menarik nafas dalam-dalam.
Dengan udara segar disekolah, aku sedikit bisa melupakan rasa sesak dari masa
laluku dan entah kenapa, aku sekarang mulai merasa bahwa
“hey kaori, aku akan mengajak yumeno
untuk ikut bersama kita.”
... aku mulai mendapatkan warna baru dihidupku.
Posting Komentar