#1

----

     

Aku sudah terbiasa seperti ini, dimulai sejak umurku 4 tahun. Disakiti, tidak dipedulikan, ditinggalkan, di tempatkan pada posisi yang menyakitkan, dibiarkan menangis sendiri dalam kegelapan, di biarkan terpuruk dalam rasa jatuh yang menyakitkan. Tak salah lagi, jika aku merasa bahwa dunia ini hanya di penuhi warna .... ABU-ABU.
            Maafkan kami, kami memang harus berpisah.” Ucap ayah membelai rambutku dengan lembut, sambil memeluk boneka beruang yang diberikannya pada ulang tahunku kemarin.
            Kaori sayang, kau harus memilih. Kau ingin ikut ayah atau ibumu?” ucap ayahku yang mengenggam erat tanganku. Dengan tatapan yang lembut, aku melihatnya ... ya aku melihatnya. Air mata ayah mulai mengalir sambil bertanya padaku. Aku tidak menjawab pertanyaan ayah. Aku hanya berdiri dan menunjuk ke arah ibuku. Ibuku yang berdiri didekat jendela langsung berbalik dan menatapku. Dan aku juga melihatnya, air mata ibu yang juga keluar.
            Aku tak tahu apa yang terjadi. Sungguh aku tidak tahu apa yang sedang aku alami sekarang, tapi satu hal yang aku tahu, keluarga kami tidak dalam keadaan baik. Ibu langsung menyuruh pengasuhku untuk membawaku kekamar. Aku hanya bisa mengikuti ibuku, aku lihat kakak berdiri dibalik pintu dan aku juga melihatnya. Air mata kakak, air mata kakak juga keluar. Kenapa mereka semua menangis? Kenapa ayah, ibu dan kakak menangis? Kenapa hanya aku yang tidak menangis? Sampai hari itu berakhir pun, aku tidak tahu apa yang sedang terjadi.
            “Kaori, aku akan merapikan bajumu. Tolong duduk disini sebenttar.” kata bibi yosi yang mendudukkan ku didekat jendela. Aku bisa lihat dengan jelas bekas basah akibat hujan yang tadi turun dengan derasnya.
            Untuk beberapa saat, bibi yosi sudah siap merapikan bajuku,. Beberapa tas besar sudah ada dihadapanku.
            “Bibi? Apa yang terjadi? Kenapa ayah, ibu dan kakak menangis? Kenapa hany..a aku yang ti..dak menangis?” tanyaku dengan bibi, dan saat itu juga aku menangis. Aku menangis dalam pelukan bibi yosi yang hangat, aku menenggelamkan wajahku didalam pelukan bibi yang tidak menjawab pertanyaanku.


Tapi, sejak saat itu yang aku tahu bahwa, keluargaku telah hancur


10 tahun kemudian ...
            Aku sedang diambang keputusasaan, sudah tidak ada lagi pelukan untukku. Didalam sana, ibuku sedang mendapatkan pertolongan dari dokter dan para suster, mereka terlihat sangat sibuk dengan ibukku. Apa kau sadar bahwa sekarang aku sedang sendiri? Yah itu benar, beberapa bulan setelah aku meninggalkan rumah itu, bibi yosi, pengasuhku dari kecil,  telah meninggal dunia akibat sakit yang ia derita. Semenjak itulah, aku hidup berdua dengan ibuku di apartemen miliknya. Sudah jadi hal biasa, jika ibu berjuang sendirian, tanpa bantuan ayah.
“Mulai sekarang, kau harus bisa berdiri sendiri. Maafkan ibu yang tidak bisa menjadi ibu yang sempurna untukmu, tolong maafkan ibu ... tolong  maafkan ibumu ini.bila sekarang kau hanya bsa melihat dunia dengan yang dipenuhi warna abu-abu, tapi sayang ...  sudah saatnya kau mulai mencoba dengan warna baru dan sudah saatnya pula kau berhenti untuk melihat kebelakang. Jalanilah hidupmu yang sekarang, masih ada hari esok yang harus kau jalan, ibu hanya berharap kau tidak pernah menyesal karena dilahirkan ke dunia ini. Sungguh, ibu sangat mencintaimu, ibu sangat menyayangimu. Ibu ... Ibu hanya berharap kau bisa menemukan sesuatu yang bisa memberikan warna di hidupmu.”
Hanya itu kata terakhir yang aku ingat semenjak ibuku sudah tiada. Selama 3 tahun kebelakang, aku sudah terlalu banyak bersedih atas kepergian dua orang yang menjadi tempatku untuk mengadu. Sejak saat itu pula, ayah jadi sering memperhatikanku, ia jadi sering pulang dan menginap dirumah. Sesekali ia mengajak kakakku dan menyuruhnya untuk menemaniku, tapi sejak malam dimana aku ditempatkan di posisi sulit, aku sudah semakin jarang berbicara dengannya. Membicarakan masalah tujuanku setelah SMP, bagaimana pergaulanku disekolah atau membahas yang sering dibahas oleh ayah dan anak pada umumnya. Pernah suatu malam aku melihat ayah seperti merasakan sakit ketika melihat album lama kami. Ia memeluk dengan erat sambil menahan tangisannya. Itu pemandangan biasa bagiku jika ia ada dirumah. Dalam benakku, apakah ia tahu sudah sejauh mana penderitaan yang dialami oleh ibuku?
Aku hanya berharap tuhan membalas semuanya dengan kebaikan.

“Kaori, bagaimana sekolahmu?” tanya ayah padaku ditengah makan malam.
“Biasa saja.” Jawab singkatku
“Oh... begitu rupanya.” Sambut ayah dengan nada lesu
“Semuanya masih sama saja, semua masih terlihat abu-abu bagiku. Aku sudah kenyang.” Ucapku yang langsung meninggalkan ayah dan kakakku di ruang makan.

Di sekolah ...
            “Hey takishima, toko roti didekat stasiun sedang mengeluarkan paket untuk siswa. Apa kau mau mencobanya?” tanya emi dengan mata bersinar-sinar.
            “Eee? Apa kau tidak ada kegiatan klub sepulang sekolah nanti?” jawabku yang sedang mengeluarkan bekal makan siang.
            “Kami sedang libur untuk beberapa hari, kau tahu ketua klubku? Dia sedang terkena diare akibat salah makan, entah kenapa ia mengistirahatkan klub kami dari latihan untuk beberapa saat.”
“Hm .. jika hanya kita berdua, mungkin kurang asik. Bagaimana jika aku.. ahh tidak mungkin. Aku tidak punya teman lagi selain dirimu. Hah... bagaimana jika kau mengajak temanmu yang lain? Mungkin mereka juga tertarik dengan paket di toko roti itu.”
            “Hm ide yang bagus, baiklah aku akan mencari orang untuk pergi bersama kita nanti.” kata emi yang langsung berlari kearah luar.
            “Emiiii. Bagaimana dengan makan siangmu?”

            Ini sudah kesekian kalinya aku menghabiskan waktuku yang singkat dengan teman sekolahku.
            “Kaori, jangan lupa pulang sekolah nanti.” Bisik emi yang membuatku merinding.
            “Ya.. aku tidak lupa.”.
Aku sudah mulai terbiasa dengan keadaanku sekarang, saat aku masih SD dulu aku sering menjauhi teman sekolahku, aku juga sering melewatkan perjalanan sekolah untuk menghindari mereka, tapi sekarang aku mulai belajar untuk membuka diri, mungkin agar aku bisa melihat dunia ini. Walaupun, aku masih harus dihantui dengan rasa sakit setiap kali aku memejamkan mata. Tapi untuk sekarang, aku sudah mulai merasa damai.
“Haa akhirnya pulang juga. Hey kaori, nanti tunggu aku digerbang sekolah.” kata emi yang langsung berlari meninggalkanku dikelas.
“Baiklah ... jangan membuatku menunggu terlalu lama.”
Aku mulai menyusuri koridor dan menuju loker sepatu, aku menarik nafas dalam-dalam. Dengan udara segar disekolah, aku sedikit bisa melupakan rasa sesak dari masa laluku dan entah kenapa, aku sekarang mulai merasa bahwa
            “hey kaori, aku akan mengajak yumeno untuk ikut bersama kita.”
            ... aku mulai mendapatkan warna baru dihidupku.
Share:
Designed by OddThemes | Hai