Pernahkah kau mendengar musik piano di tengah malam?
Pernahkah kau merasakan tusukan keras yang memacu jantungmu untuk berdetak kencang?
Ataupun Pernahkah kau mendengar suara tertawa begitu keras di tengah malam?
Aku pernah. Dan sekarang aku sedang bersembunyi di balik selimut.
“Apa yang kau baca?”
“Huwaaa!!”
Chai merangkak masuk ke dalam selimut, “sampai segitunya kau kaget.” Dia terkekeh kecil – begitu mengasyikkan baginya mengejutkan Arthit seperti ini. Bahkan ekspresi terkejut miliknya sangat menggelikan.
“Tentu saja, kau sangat mengagetkan ku. Aku sedang mendalami kalimat yang ada di dalam lembaran ini.”
“Apa yang kau baca?” tanya Chai sambil menunjuk sebuah buku yang berhasil menciptakan suasana menegangkan.
“Sebuah lembaran buku tua dari perpustakaan, ini terlihat sangat menarik,” ucap Arthit sambil mengusap dadanya dan kembali duduk. “Jangan coba alihkan pembicaraan.”
“Apa yang sedang kita bicarakan?”
Arthit sedikit mendecih, “Bagaimana jika aku terkena serangan jantung?” tanyanya dengan nafas yang masih terdengar tidak beraturan. Chai kembali terkekeh.
“Tidak akan kena, aku mengagetkanmu hanya sedikit.” Chai berjalan mendekati meja belajar, “aku pinjam ini, aku kehabisan pewarna hitam,” izin Chai sambil mengambil satu botol penuh cat hitam
“Kita baru membeli perlengkapan beberapa hari yang lalu.” Arthit sedikit keluar dari selimutnya.
“Aku memakainya cukup banyak, lagipula saat ini aku sudah tidak punya stok untuk cat hitam,” jelas Chai. Chai Nauljam – dia adalah seorang pelukis yang masih sedikit amatir. Dia memang terbilang begitu boros jika menggunakan cat untuk lukisannya.
KRESEK!
Sebuah garukan yang terdengar dari balik jendela. Sebuah garukan kasar yang cukup mengerikan. Arthit sempat menahan nafas. Sekarang dia sedang diselimuti rasa takut yang semakin menjadi. “A-Apa itu?” Arthit menoleh, ditelannya air ludah lalu masuk kembali ke dalam selimutnya. Dia paling tidak menyukai saat-saat menegangkan seperti ini.
Chai menghela nafas lalu berjalan meninggalkan kamar Arthit. “Paling juga ranting pohon. Kau pasti lupa memotong ranting pohon,” ucap Chai yang sediit melambaikan tangan pada Arthit.
“Chai kau mau kemana? Coba periksa dulu.”
“Ha penakut.” Chai mendekati jendela dan – “Benar bukan? Kau terlalu paranoid akibat membaca lembaran itu. Lain kali, jika kau tidak sanggup membacanya, lebih baik kau letakkan saja lembaran itu lalu pergi tidur. Atau setidaknya perhatikan apa saja agenda yang akan kau ikuti besok.” Chai kembali menutup gorden dan meninggalkan Arthit.
Arthit menyipitkan matanya, ia sedikit tidak puas dengan ucapan Chai. Perlahan didekatinya jendela – lalu sedikit mengintip. “Besok aku potong sajalah,” gumam kecil Arthit yang langsung menutup gorden dan menyalakan lampu utama. Ditariknya bangku kecil lalu membuka buku panduan. Ia teringat, bahwa lusa akan diadakan upacara penyambutan untuk para mahasiswa baru di Universitasnya.
Upacara penyambutan sudah dilakukan setiap tahunnya. Upacara ini juga dirayakan oleh mahasiswa lama yang ada di sana, gunanya untuk menyambut para mahasiswa baru dan menebarkan energi positif agar mereka mau menuntaskan pendidikan mereka di universitas ini.
Arthit menelengkan kepalanya, “Bukankah besok kita harus membeli kemeja putih baru?” tanya Arthit dari balik kamarnya – ia sedikit meninggikan nada suara agar Chai bisa mendengarnya. “Chai?”
Chai tidak menjawab. Luaran kamarnya terdengar sunyi. Bahkan suara angin yang meniup dahan kentara jelas tanpa terganggu oleh suara lain.
“Chai, aku memanggilmu.” Arthit perlahan melangkahkan kaki – meninggalkan kamarnya dan mengetuk pintu kamar Chai yang ada di depan kamarnya. “Chai.” Arthit mendongak, “lampu kamar masih hidup.”
Arthit mengetuk pintu– “terbuka?”
Nyiiittt.
“Chai? Kau dimana?” – Tidak ada jawaban. “Hee?”Arthit mengambil ponsel lalu menghubunginya. Ia sedikit panik saat itu. Lembaran yang mengerikan – bunyi garukan akibat ranting pohon – Chai yang menghilang – apa lagi yang bisa membuatnya lebih ketakutan daripada ini?
“Chai benar, lebih baik aku tidak membaca lembaran itu. Sial.”
Tuttt.
Tutt.
Clack!
“Chai?”
(Hening)
“Chai ... jangan membuatku takut,” ucap Arthit yang semakin paranoid. Ia bahkan menoleh kanan-kiri secara berulang. Bahkan dia memandang langit rumah dengan sedikit takut. “Chai ... kau dengar a–“
Panggilan berakhir.
Arthit semakin gemetar, keringat dingin mulai mengalir – ia kembali menelan ludah lalu berjalan ke lantai bawah. Suasana lantai satu kurang mendukung. Beberapa lampu ruangan ini memang tidak menyala.
“Kenapa di saat seperti ini aku ingat untuk mengganti lampu ruang bawah ini?”
Sejak awal kepindahan mereka, pemilik rumah memang sudah memberitahukan bahwa ada beberapa lampu yang sudah tidak menyala. Arthit kembali ke kamarnya lalu mengambil senter.
Dicobanya untuk menarik nafas dalam lalu menyalakan lampu senter – mencooba menyusuri tangga dengan langkah yang sedikit pelan. “Aku tidak suka seperti ini.” Arthit menoleh ke arah dapur.
“Lampu menyala?” gumam Arthit yang perlahan mendekati dapur dan mencoba melihat sekelilingnya.
Ting ... Ting.
Berhenti berjalan, pupil matanya melebar – suara barusan menambah deretan momen menakutkan yang baru saja Arthit alami. Dia sedikit memberanikan diri – mengintip sedikit ke arah jendela pintu depan, ia merasa bahwa ada seseorang mengetuk jendela dengan ujung benda tajam. Mencoba untuk mengatakan bahwa ada seseorang di sana.
“C-Chai? I-Itu kau?”
Baru saja jari-jari Arthit akan berhasil menggapai gorden – “suara apa itu?” – terdengar samar sebuah alunan piano bernadakan sangat lembut. Arthit kembali menelan ludah untuk ketiga kalinya. Ia bahkan tidak berhasil mengendalikan dirinya yang sudah mulai berpikir tidak karuan. Tangannya bergetar, suara piano itu menjadi puncak ketakutan dari serangkaian kejadian – ia terlalu takut untuk mencari asal suara, ia lebih memilih untuk tetap berdiri di posisinya sekarang – pikirannya kacau. Suara garukan di jendela atas, Chai yang tiba-tiba menghilang, lampu dapur yang menyala ataupun suara dentingan jendela yang sekarang sudah ada di depannya. Ini adalah sesuatu yang sangat kompleks dalam rasa takut Arthit.
“Siapa yang memainkan piano di tengah malam seperti ini? Apa dia sedang bersedih?” tanya Arthit yang masih saja berdiri diam di posisi awal. Dia menarik nafas – mencoba menggapai gorden putih lusuh yang menutupi sebuah jendela.
“Heh? Tidak ada orang?” Arthit menundukkan kepalanya – kini giginya tengah menggeretak – ia panik – takut – Chai benar, Arthit adalah orang yang sampai saat ini masih merasa sangat paranoid tentang hal yang berbau mistis. Apalagi ini baru terjadi pertama kalinya – dampak yang diberikan pada Arthit terlihat sangat jelas.
“Ada apa, Arthit?”
Arthit terperanjat. “Huwaaaaaaa!!!” – terduduk dan menutupi wajahnya, “S-Siapaa?”
“Oi, aku Chai. Kenapa kau sangat ketakutan?” Chai memegang pundak Arthit yang makin bergetar, “Arthit?”
Suara piano itu terdengar lagi – “Moonlight Sonata?” Chai berjalan mendekati jendela sebelah, lalu membuka gorden dan melihat ke rumah sebelah yang lampu di ruang musiknya menyala.
Terlihat samar seorang pria dengan tubuh sedikit bungkuk memainkan sebuah piano – syal merah yang melingkari leher dan sweater abu-abu yang menutupi baju tidur miliknya.
“Kemana saja ka-”
“Aku tidak tahu jika rumah ditinggali seseorang,” bisik Chai yang dengan seksama memperhatikan pria itu. Ia menatap lurus ke arah pria yang ada di balik jendela. Untuk beberapa saat, Chai mematung – seakan tersihir oleh alunan lembut suara dari Grand Piano yang memainkan partitur Moonlight Sonata. “Suara yang indah,” ucapnya sambil terus memperhatikan pria itu.
Namun sesaat kemudian.
TETTTT!!!!
Suara piano berhenti dengan bunyi yang mengagetkan Chai, pria itu berbalik dan mendapati Chai sedang memperhatikannya. Chai tersentak – mata mereka bertemu satu sama lain. Seketika ia menunduk- Dengan mata sedikit menyipit pria itu langsung menutup gorden miliknya dan mematikan lampu. Tidak ada bunyi piano setelahnya.
Arthir menepuk pundak Chai, “Kau kemana saja?” tanya Arthit yang sedang mengatur nafas. Kejadian barusan membuatnya merasa sangat sesak.
“Membeli kemeja, aku belikan juga punyamu.” Dia memberikan kantong kertas berwarna hitam lalu meninggalkan Arthit yang masih heran melihat tingkah Chai.
Chai kini dipenuhi rasa penasaran. Selama dia di sini, jarang sekali para tetangga memainkan piano. Apalagi pria itu sedang bermain di tengah malam. Rasa penasaran semakin menjadi saat pria itu berbalik dan mendapati Chai.
Tapi ada satu hal yang Chai ketahui.
Hingga pagi ini, dia tahu bahwa pemilik rumah itu tidak pernah menunjukkan dirinya.
Posting Komentar