(III)

 

 

 

 

Chai mematung ketika melihat canvas yang sudah dia gambar semalaman mendadak menjadi putih kosong. Ia ingat betul tentang apa yang ia lukis semalam suntuk. Chai melihat ke sekeliling ruangan. “Pasti tertukar,” ucapnya sambil memeriksa satu persatu canvas yang ada di ruang gambar. Ia bahkan mencari ke sudut ruangan – bahkan ia menyuruk ke bawah meja. “Kemana perginya?” ujarnya yang kembali berdiri sambil membersihkan keringat yang mulai mengalir pelan.

“Kau mencari sesuatu?”

“Heh?” Dia tersentak, “Lukisanku.”

“Kau tidak membawa lukisan hari ini.”

He-eh? Jelas-jelas aku membawanya tadi.”

“Jangan ngelindur, aku di sini dari pagi dan baru melihatmu sekarang. Kau bahkan belum mengisi absen, jadi tidak mungkin kau meletakkan lukisanmu di sini,” ucap orang itu sambil menunjuk ke papan absen mahasiswa seni.

“Tapi jelas-jelas aku meletakkannya di sini,” kata Chai sambil menunjuk ke tempat yang dia maksud. Chai ingat betul bahwa sebelum dia mengunjungi perpustakaan, ia singgah sebentar sambil meletakkan canvas yang tidak mungkin ia bawa ke perpustakaan. Ditambah lagi ia masih sangat ingat bahwa ia sudah mengisi papan absen.

“Semua lukisan yang ada di sini adalah lukisan mahasiswa tahun ketiga dan keempat,” ucap orang itu sambil menunjuk semua canvas yang tersusun rapi. Dia berpindah ke sisi lain Chai dan menunjuk ke lukisan lain. “Aku yakin, kau dari tadi tidak ada masuk ke sini. Mungkin kau melupakannya di suatu tempat sebelum kemari.”

“Aku tahun keempat, dan itu lukisan ku untuk mata kuliah terakhir. Lagipula sebelum ke perpustakaan, aku memang meletakkannya di sini agar tidak mengangguku saat di sana. ”

“Maafkan aku, tapi aku memang tidak melihatmu meletakkan canvasmu di sini. Tapi jika kau bersikeras, tunggu saja sampai mahasiswa lain masuk. Mungkin mereka melihat canvasmu,” ucap orang itu yang langsung meninggalkan Chai.

Chai kembali mencari, kali ini dia rela menggeser sedikit lemari berukuran besar. Kali saja ada salah seorang mahasiswa yang tidak suka dan memasukkan canvas ke belakang lemari.

“Apa yang kau cari?”

“Ha Nim. Aku mencari canvas ku.”

“Canvas? Aku tidak melihat canvas bertuliskan namamu di sini.”

“Tapi aku meletakkannya di sini. Aku sadar betul bahwa aku meletakkannya di sini lalu pergi ke perpustakaan.”

“Chai, maaf. Tapi kenapa kau terlihat sangat aneh hari ini?” Pertanyaan Nim membuat Chai tersentak. Bukan hanya Arthit yang membuatnya tersentak, tapi Nim. Chai mematung beberapa saat. Ia mulai berpikir bahwa hari ini, mungkin semua orang memandang Chai sedikit aneh – bahkan mahasiswa yang baru saja pergi dengan senyum mengejek yang orang itu keluarkan. Orang itu sedikit menjengkelkan menurut Chai. Untuk ukuran mahasiswa baru, sikap yang dia tunjukkan adalah sikap yang paling Chai benci.

Dia semakin bingung – ia menarik nafas dalam – mencoba bersikap tenang lalu mengambil ponsel. Ia tengah menghubungi Arthit.

 

Tuuttt.

“Arthit?”

[“Iya?”]

“Apa kau melihat canvas lukisanku?”

[“Bukankah kau membawanya tadi?”]

“Tapi di ruang gambar tidak ada.”

[“Mungkin tertinggal di bis.”]

“Apa kau ingat bis mana yang kita naiki?”

[“Biar aku ingat dulu. Aku akan ke tempatmu sekarang.”]

 

Tut.

Panggilan berakhir.

 

Chai bersandar sembari menunggu Arthit yang letak Fakultasnya sedikit jauh dari Fakultas Chai. Dia bersandar pada meja yang ada di depannya, akhirnya dia kembali memikirkan bahwa memang ada keanehan yang sedang terjadi. Keanehan yang kentara jelas terjadi disekitar dirinya. Terutama untuk kejadian barusan. Dia kembali mengingat tentang kejadian di perpustakaan.

“Kepala ku mendadak sakit jika menghubungkan keanehan ini,” ucapnya sambil mendongak, diperhatikannya langit ruangan yang dipenuhi oleh gambaran mahasiswa sebelumnya – sebuah lukisan indah dengan perpaduan warna yang sedikit teduh. Warna hijau pudar yang mendominasi dan biru langit yang menenangkan.

“Senior dulu sepertinya tau perpaduan warna ini bisa menenangkan.”

TIIIINN!

Bunyi klakson memecahkan renungannya. Arthit sudah tiba dengan wajah yang memerah. Aroma dari makanan pedas tengah tercium jelas dari Arthit. Buru-buru Chai menghampiri dan mengencangkan tali sepatunya.

“Chai,” panggil Arthit yang memberikan helm pada Chai. “Aku ingat nomor bis nya. Mau ke sana?”

“Iya.” Chai mengangguk. Dia langsung memasang helm dan bergerak cepat.

“Aku sudah meminjam sepeda motor milik Kulap, ayo kita ke sana.” Arthit menyalakan mesinnya, dengan sigap ia membawa Chai menuju bis yang tadi mereka naiki. “Sebaiknya nanti kita beli air mineral dulu. Aku lupa minum tadi.”

 

Arthit menaikkan laju kendaraannya, Chai berpeluk erat sambil mengamati langit. Ia menarik nafas dalam untuk menenangkan dirinya. Aroma pertanda akan turun hujan sudah tercium sedikit

“Sepertinya akan turun hujan,” gumamnya sambil terus memeluk Arthit.

“Kenapa kau begitu linglung belakangan ini?” tanya Arthit dengan suara sedikit meninggi. Berbicara di jalan memang membutuhkan suara yang sedikit besar.

Hahhh? Kau bilang apa?”

“Tidak. Nanti sajalah.”

 

Beberapa pemberhentian bus yang merupakan rutenya sudah di datangi. Arthit mengambil ponselnya, “coba kita ke pemberhentian ini.”

Chai mengangguk dan kembali memasang helmnya. Arthit sedikit berbeda – itulah yang dipikirkan Chai ketika duduk di belakang Arthit yang sedang fokus mengendarai motor. Sosok Arthit selalu menjadi penolong Chai dalam segala hal.

Setelah 15 menit menghabiskan waktu berkeliling untuk mencari bis itu, tibalah mereka di ujung pemberhentian bis yang letaknya sedikit jauh dari Universitas.

“Apa kau yakin di sini?”

“Pemberhentian terakhirnya di sini, sebelum kembali ke terminal.”

“Kenapa kita tidak ke terminal saja.”

“Kau tidak takut jika lukisanmu di ambil orang?”

Chai tampak berpikir, “Benar juga.”

 

Lima menit kemudian, bis yang ditunggu pun akhirnya tiba, dengan supir yang sama dan juga warna serta plat nomor yang sama. Buru-buru Chai masuk dan menyapa supir.

“Aku meninggalkan barang ku di sini.”

“Barang? Dimana?”

“Bangku paling belakang.”

“Coba saja periksa.”

Supir bis membukakan pintu masuk belakang yang berada tepat diseberang bangkunya. Chai menunduk sedikit mencari lukisan itu dan “Ada. Aku benar-benar meninggalkannya.”

“Apa kau sudah menemukannya?”

“Iya. Ada di sini. Terima kasih, pak.”

 

Bis itu pun berlalu, Chai tersenyum lega sambil membawa lukisannya–  “Arthit?”

“Apa kau benar-benar Chai?”

Chai mengangkat alisnya, “apa yang terjadi padamu? Kau dari pagi tadi terus meragukan tentang diriku.”

“Justru aku yang harusnya bertanya, apa yang terjadi pada Chai?”

“Arthit!!”

“Jawab dulu pertanyaanku!”

“Aku Chai, Chai Nuljam. Aku adalah kembaranmu. Aku mohon, berhentilah bertanya dan meragukanku seperti ini.”

“Bukan.” Arthit mengeluarkan sebuah cermin dari tasnya, lalu menghadapkannya pada Chai. “Kau bukan Chai.”

Lukisan pun terlepas, diambilnya cermin itu lalu membuangnya. “Sudah ku bilang aku adalah Chai.”

“Jangan membohongiku. Chai sudah koma sejak tiga bulan yang lalu.”

 

DEP!!

 

Pernyataan dari Arthit membuat Chai terbelalak untuk beberapa saat. Tubuhnya bergetar hebat. Semua keanehannya, kejadian di perpustakaan, canvas yang tertinggal, absen yang tidak terisi dan sekarang ia dihadapkan dengan pernyataan bahwa dirinya koma membuat Chai semakin bingung – lebih tepatnya ia sedang takut.

 

“K-Koma? Apa maksudmu, Arthit? Aku Chai ... Aku Chai ... Aku ...”

Arthit tertunduk, dia menggigit bibirnya sebelum kembali bicara. Dari raut wajahnya kentara jelas bahwa Arthit tidak suka berada di posisi ini. Kini giliran Arthit yang gemetar hebat. Ia menggigit semakin dalam. “Ayolah, Chai sudah koma sejak tiga bulan kemarin. Aku adalah kembarannya. Kami sudah bersama dari kecil. Mana mungkin aku lupa bagaimana wajah kembaranku!! Bagaimana aku bisa lupa sifat dari kembaran ku! Kau ... kau sedang menyamar sebagai kembaran ku. Jadi aku mohon jelaskan padaku, siapa kau sebenarnya? Aku mohon, jangan membuat ku menjadi ketakutan seperti ini.”

“Aku benar-benar tidak tahu apa yang kau katakan, Arthit. Tapi aku benar- benar Chai, kenapa kau masih saja mengulang pertanyaan yang sama?!”

“Bukankah sudah ku katakan bahwa Chai sudah koma!!!!!!”

 

Chai tersentak, dia mundur beberapa langkah lalu mengangkat wajahnya dan memandang langit dengan seksama. Ia membuka matanya begitu lebar sambil mengamati jelas langit hari itu. “Arthit, ada yang aneh di sini.”

“Hah?”

“Langit yang aku lihat selama perjalanan mencari bis tadi sangat mendung. Aku berpikir kita akan kehujanan ketika mencari bis nya. Tapi yang aku tahu, perubahan warna langit tidak akan sedrastis ini. Maksudku adalah kenapa sekarang berubah menjadi sangat cerah. Bahkan tidak ada jejak awan hitam tadi.”

“Hah? Kenapa kau sekarang tiba-tiba membahas cuaca? Jangan mengalihkan pembicaraan. Aku sedang tidak ingin memperhatikan langit.”

“Aku sedang tidak mengalihkan pembicaraan ...” Chai menajamkan matanya dan menunjuk ke arah langit. “..., saat kita berhenti di pemberhentian ke enam, aku sempat melihat langit. Tampak jelas sekali seperti akan turun hujan. Tapi sekarang–“ Chai mematung. Pandangannya mendadak kosong.

“Chai?”

Chai menutupi wajahnya, tubuhnya kembali bergetar. “sepertinya kau benar, Arthit. Aku bukan Chai.” Chai berjongkok, “Aku bukan Chai. T-Tapi bukan aku pembunuhnya.”

“Pembunuh? Chai, apa yang kau katakan?” Arthit mendekat, dia mencoba untuk menenangkan Chai yang semakin terlihat tidak karuan.

“Bukan aku!” teriak Chai yang menangkat wajahnya lalu menarik kerah baju Arthit. “Dia pelakunya ... Dia–“

“Chai apa yang sedang kau katakan ini? Tolong, jangan semakin membuat ku takut, Chai.”

“Dengarkan aku, aku bukan pembunuh Anh. Tapi dia, dia–“

 

 

BRAKKK!!

 

 

Share:
Designed by OddThemes | Hai