(II)

 

 

 

Pagi ini adalah tugas Chai mengambil semua surat dari kotak pos yang ada di depan pagarnya–ia berdiri sejenak sambil melirik ke arah rumah sebelah yang beberapa malam lalu menarik perhatiannya. Dia ingat betul bahwa malam itu ada seorang pria yang memainkan piano. Tapi bagaiman Nyonya Ranne bisa mengatakan bahwa rumah di sampingnya sudah lama kosong karena pemiliknya pindah tugas ke Nothaburi.

“Kau masih memikirkan pemain piano itu?”

Chai mengangguk, dia masih berpikir bahwa yang ada penghuni di rumah sebelah. Ia memberikan beberapa lembar surat milik Arthit.

“Pintu sudah kau kunci?” tanya Chai.

Arthit menangguk, perlahan dia mulai membaca nama-nama pengirim dari beberapa surat yang ia terima. “Chai.”

“Apa?”

“Yang ini milikmu.” Arthit menyodorkan sebuah surat dengan amplop coklat muda, Chai menyambut, dibacanya nama pengirim lalu menelengkan kepalanya. “Nhung ... siapa dia?”

Arthit menaikkan kedua bahu secara bersamaan, “kenalanmu, mungkin?”

“Hm, aku tidak pernah punya kenalan dengan nama ini. Apa mungkin salah alamat?”

“Sudahlah. Nanti saja kau pikirkan, kita harus segera pergi ke kampus.” Arthit mengencangkan tali sepatunya dan kembali berjalan. Sedangkan Chai, masih memegang surat dari pengirim yang tidak dia kenal.

 

Sembari menunggu bis selanjutnya datang, Chai membetulkan posisisi canvasnya yang ia selipkan di belakang punggung. Sedangkan Arthit sedang sibuk dengan ponselnya–Arthit melirik, dia masih bisa melihat raut wajah Chai yang masih dipenuhi rasa penasaran tentang pengirim dan isi surat itu.

“Jika kau sebegitu penasarannya, kenapa tidak di baca?” Arthit menepuk pundak Chai.  Chai kembali berpikir lalu mengangguk kecil.

“Nanti saja di dalam bus.”

 

Cuaca hari ini sedikit mendung, banyak sekali awan hitam yang telah berkumpul di sudut langit. Tinggal menunggu waktu saja hingga air menetes lalu berubah menjadi hujan yang deras.

“Kau ingin baca sekarang?”

Chai mengangguk, ia merobek ujung amplop tersebut dan membaca sedikit tulisan yang ada di dalamnya.

Pernahkah kau mendengar musik piano di tengah malam?–

 

“Sepertinya nanti saja.” Chai mengernyitkan dahinya. Ia memasukkan kembali surat dan menghadap ke luar jendela. Raut wajah Chai tiba-tiba menjadi aneh.

Arthit melirik sekilas ke arah Chai, keanehan Chai yang baru saja dia lihat bukan apa-apa dibandingkan malam itu. Sejak malam itu, Arthit merasa bahwa Chai tampak seperti orang linglung. Ditambah lagi, ketika Chai menunjukkan hasil lukisan yang dia buat. Sebuah karya milik Chai yang terlihat sangat berbeda.

 

Arthit menarik nafas dalam. “Siapa kau sebenarnya?” tanyanya. Seketika Chai menoleh–mulutnya mengangga.

“Aku Chai, tidak mungkin kau lupa.” Tegas Chai. Dia bahkan sedikit menaikan nada bicaranya.

Seketika Arthit mengangkat alisnya. Dia sangat merasa terganggu dengan apa yang dikatakan orang yang duduk di sampingnya. Ia bahkan kembali menatap lurus – hingga mengamati pupil mata Chai. “kau bukan Chai.”

Apa Arthit sedang bercanda? Apa Arthit berniat untuk menjahiliku? gumamnya, Chai menahan nafasnya untuk beberapa saat – lalu memperhatikan Arthit dengan seksama. Dibukanya telapak tangannya lebar lebar, lalu bergumam kembali. “Nah Arthit, apa ada yang salah dengan ku?”

 

✦✦✦

 

Setelah berpisah dengan Arthit, Chai berjalan dengan terburu-buru. Untuk saat ini dia tidak sedang berjalan menuju kelas, melainkan perpustakaan universitas yang letaknya di belakang gedung utama. Ia baru ingat ada beberapa buku yang hendak ia bawa pulang hari ini.

Beberapa mahasiswa baru saja keluar dari pintu perpustakaan sedikit menggumam ketakutan. “Kenapa bisa seperti itu?” salah seorang mahasiswa itu bergidik ngeri sambil menaikkan kerah jaket.

Chai melirik sedikit, lalu bergegas menuju salah satu rak tanpa menghiraukan keramaian yang ada di dekat jendela perpustakaan. Dicarinya buku yang dia butuhkan untuk ia bawa keluar.

“Dima–“

 

“Semuanya keluar!!!!” teriak penjaga perpustakaan sambil mendorong beberapa mahasiswa.

 

PRANG!!!

 

Chai menjatuhkan bukunya, mulutnya menganga lebar–di depannya ada beberapa mahasiswa yang meringkuk berdarah di bawah pecahan kaca. Satu diantaranya menjerit kesakitan akibat pecahan kaca yang menancap lurus di kakinya.

“Mimpi buruk apa ini?”

Chai perlahan mendekati pecahan kaca tersebut, tubuhnya gemetar–diangkatnya sebelah tangan seolah ingin meraih mahasiswa yang kesakitan itu.

“Apa yang kau lakukan?!” Arthit mendorong Chai dengan kuat hingga terdorong ke rak yang sedikit jauh dari Arthit.

Nafas Arthit terengah, dengan cara jalan sedikit pincang ia mendekati Chai. “Jangan ke sana. Reruntuhan kaca dari jendela atas perpustakaan bisa saja mengenaimu.”

“Apa yang terjadi?”

“Aku juga tidak tahu.”

Suasana sedikit mencekam, ditambah dengan jeritan kesakitan dari mahasiswa yang terkena kaca. Beberapa staf perpustakaan juga merintih kesakitan karena terkena pecahan kaca di bagian tangannya. Beberapa saat kemudian, beberpa tim penyelamat sudah tiba di lokasi dengan beberapa ambulance.

“Kau tunggu di sini, aku akan ke sana sebentar. Ingat, jangan coba-coba mendekati orang yang terluka.” Arthit berlari kencang meninggalkan Chai yang pucat pasi. Bibirnya tak henti bergetar. Matanya yang masih saja memandang lurus–terpaku pada mahasiswa yang merintih.

 

Sebanyak 23 mahasiswa dan lima staf di bawa menggunakan 12 ambulance dan beberapa mobil pribadi, Chai merasa sedikit aneh. Ia melihat sekeliling sambil terus memperhatikan tempat kepingan kaca. Mengingat kaca jendela sudah dipasang sedemikian amannya. Akan terasa sangat aneh jika tiba-tiba saja lepas. Suasana di perpustakaan sedikit menakutkan, beberapa bercak darah kental masih sangat terlihat di beberapa pinggiran rak dan juga dinding. Beberapa mahasiswa masih meringkuk gemetar di penjuru sisi perpustakaan. Rasa khawatir kian menjadi.

Wakil rektor pertama sudah tiba di lokasi, Tuan Suchart tiba dengan keringat yang bercucuran- mungkin dia berlari dari gedung rektor yang jaraknya sekitar 300 meter.

“Kenapa bisa terjadi?” tanya nya dengan suara yang sedikit tersendat. Maklum untuk usia yang tidak muda dan bentuk tubuh yang sedikit berlemak, membuatnya tidak bisa mengatur nafas. Dilihatnya satu per satu staf dan juga mahasiswa yang ada di sana. Dia mengharapkan jawaban yang bisa membuat hatinya tenang.

“Penyangga kacanya sudah tidak bisa menahan beban kaca,” jawab Arthit yang berdiri sedikit jauh darinya. “Arthit Nauljam, mahasiswa akhir fakultas teknik.” Arthit menunjukkan kartu mahasiswanya. Tuan Suchart mengelap keringatnya lalu berjalan mendekati Arthit. “Kau yakin?”

“Selama saya kuliah di sini, jarang ada perawatan di bagian penyangganya. Ditambah lagi musim sering berubah tidak menentu. Bisa saja terjadi korosi di bagian besinya. Tapi aku tidak yakin.”

“Kami sudah mengirim orang untuk memeriksanya.”

Tuan Suchart mengangguk dan menepuk pundak Arthit. “Terima kasih atas jawabanmu.”

Dia langsung pergi meninggalkan perpustakaan dengan beberapa staf yang menggiringnya. Arthit terduduk, dia menghela nafasnya dengan berat lalu melihat ke arah Chai. “Bagaimana denganmu? Kau tidak terkena pecahan kacanya kan?”

Chai menggeleng, dia membantu Arthit berdiri dan mengambil tasnya. Dia membantu Chai membersihkan belakang punggungnya, “Bukannya kau ada kelas pagi?”

“Aku ingin mencari buku.”

“Buku apa?”

“Buku bacaan. Aku bosan menggambar,”

Arthit mengangguk kecil. Dia permisi sebentar untuk membeli minuman. Rentetan kejadian aneh ini seharusnya tidak ia rasakan. Untuk orang biasa sepertinya, kejadian seperti ini justru terlihat tidak normal. Arthit yang tiba-tiba bertanya siapa dirinya hingga kaca atap yang tiba-tiba saja jatuh.

Chai menenggelamkan wajahnya di atas totebag hitam milik Arthit.  “Aku terlalu berpikir negatif.” Dia menghela nafas sedikit berat–sedikit melirik ke arah perpustakaan–dia masih tidak menyangka, bahwa beberapa saat yang lalu–dia hampir saja menjadi korban dari kaca atap yang tiba-tiba saja terlepas.

 

 “Aku rasa memang kampus seharusnya mulai melakukan perawatan di ruangan yang sering dipakai oleh banyak orang. Kau tahu, kampus terlalu menyepelekan masalah keselamatan.”

“Heh?”

“Ini ambil. Kopi kaleng kesukaannmu.”

Chai menyambut, dia membetulkan posisi duduknya dan sedikit merapat ke arah Arthit. “Kau benar, kampus ini sebenarnya sudah cukup tua.”

Arthit menatap lurus ke perpustakaan yang masih terlihat ramai. Sesekali dia memperhatikan atap dan juga pecahan kaca yang mulai dikumpulkan oleh petugas kebersihan.

“Aku tidak ingin kau ceroboh seperti tadi.”

“Ceroboh?”

“Iya, kau itu ceroboh. Jika aku tidak menahanmu, mungkin kau sudah akan menolong mahasiswa itu kan?”

Chai tidak membalas, kali ini Arthit benar. Jiwa penolong Chai memang sering timbul tanpa melihat kondisi. Jika saja Arthit tidak menahan, mungkin Chai juga akan tertusuk.

“Jika aku tidak menolong, dia akan kehabisan darah.”

“Kau memang seperti ini dari dulu.”

Arthit menghela nafas. Dia meletakkan minumannya dan memegang pundak Chai. “Chai, menolong itu harus melihat situasi dan kondisi. Kalo situasi dan kondisi kau aman, kau boleh saja menolongnya. Tapi jika seperti tadi, yang ada malah kau yang terluka. Lagipula aku tidak ingin berdebat lebih jauh soal ini.”

Chai kembali mengangguk. Dia menghabiskan seluruh minumannya dan berpamitan.

“Nanti malam mau masak apa?”

“Aku ingin yang berkuah. Apa sebaiknya kita mampir ke pasar?”

“Kau benar, aku rasa malam ini akan sangat dingin.”

“Baiklah.”

 

Chai dan Arthit berpisah–mereka menuju ke gedung fakultas masing-masing. Chai mempercepat langkah menuju ruang lukis sambil menenteng lukisan yang ia buat semalam suntuk.

 

 

 

Share:
Designed by OddThemes | Hai