Aku sedikit bosan – itulah yang aku rasakan sekarang. Alunan musik Bethoven beberapa hari ini selalu terdengar. Aku bahkan bisa mengingat berapa lama musik ini akan terdengar. Apa yang sedang dirasakan oleh si Pianis ketika memainkan partitur musik ini? Apa dia sedang bersedih? Atau dia hanya sekadar ingin memainkannya karena merasa bosan? Tapi apa dia tidak merasakan bosan karena memainkan partitur ini secara berulang?
Sejak kapan ini mulai terdengar? Aku berpikir sejenak, mungkin alunan musik ini terdengar sejak malam mengintip di balik gorden jendela. Dan sejak malam itu juga, aku mulai merasa aneh. Ditambah lagi dengan Arthit sama sekali tidak menghiraukanku. Bahkan dia tidak memakai kemeja yang aku belikan.
“Kemeja? Apa aku membelikannya sebuah kemeja?” Entahlah, pikiranku saat ini sedang tidak karuan. Setelah aku menemui Nyonya Ranne keesokan paginya, bertanya tentang siapa yang bermain piano – semuanya mendadak aneh. Bahkan keanehan yang kentara jelas terjadi pada Nyonya Ranne yang selalu saja ceria. Dia mendadak murung ketika ku tanya saat itu. Tatapannya mendadak kosong lalu memuntahkan sesuatu di depanku. Tentu saja, aku langsung berlari dan bersembunyi di balik selimut. Keringat ku mengucur, itu adalah keadaan dimana aku benar-benar merasa ketakutan.
Saat aku memutuskan untu bercerita tentang Nyonya Ranne pada Arthit tentang apa yang terjadi, aku terdiam – memasati ekspresi wajah Arthit yang selama ini tidak pernah aku lihat dari tangga – Padahal ketika ia pergi tadi pagi, wajahnya penuh dengan keyakinan.
“Aku gagal,” gumam Arthit memukul pelan kepalanya. Dia terlihat sangat frustasi.
Melihat Arthit yang seperti itu, ku urungkan sajalah niat saat itu karena takut menambah pikiran Arthit. Aku kembali ke atas dan menarik selimut lalu tertidur dengan pulas.
Baru berapa saat aku akan tertidur pulas, terdengar dengan samar suara orang tertawa keras dari rumah yang ada di seberang. “Darimana asal suara ini?” aku kembali turun dan menepikan sedikit gorden jendela kamar. “apa sedang menerima tamu?” aku melirik jam dinding lalu mencoba turun ke bawah.
Sembari turun, ku lirik sedikit ke arah kamar Arthit – lampunya sudah padam, mungkin sudah tidur. Aku meneruskan jalan ku hingga sampai di pintu depan, sedikit tidak sopan jika aku membuka langsung pintu dan memperhatikan rumah Nyonya Ranne, jadi aku putuskan untuk mengintip melalui jendela sebelah. Aku melihat lampu ruang tengah rumahnya sudah mati, “lalu darimana asal suara itu?” aku meneruskan langkahku mencari suara tertawa samar yang aku dengar. Dengan sedikit pelan, ku buka kunci pintu belakang dan mencari asal suara itu. Aku sedikit mendongak ke arah rumah yang ada di belakang. Pak Tua Maurer.
Hening.
Rumah itu sama sekali tidak mengeluarkan suara tertawa. Lagipula tidak mungkin Pak Tua Maurer mau tertawa hingga larut malam seperti ini. Bisa-bisa dia akan sakit keesokan paginya.
Pandangan ku alihkan ke rumah sebelah kiri yang dihuni oleh sepasang suami istri yang selalu sombong jika ditegur. Lampunya juga padam. Aku menghela nafas. Untung saja bukan mereka, jika saja yang suara tertawa begitu keras berasal dari rumahnya – akan aku ketuk dengan keras pintu rumahnya dan melayangkan protes tentang jam malam.
Ku alihkan pandangan ke-
“Heh? Apa rumah di sebelah ini baru saja mematikan lampu?”
Aku sempat sekilat melihat lampu ruang belakangnya mendadak mati, “mungkin putus.” aku mencoba untuk berpikir positif.
Suara tertawa itu semakin kencang.
Aku sedikit geram. Segera memakai sepatu lalu mencari agak sedikit maju. Rumah lainnya terlihat gelap dan sunyi. Bahkan di ujung jalan pun tidak terlihat rumah yang sedang berpesta. Tapi sebenarnya yang membuatku cukup penasaran adalah rumah Nyonya Ranne. Di sekitar sini, Nyonya Ranne lah yang sering mengadakan pesta – tapi tidak mungkin. Lampunya saja tidak menyala.
“Lalu rumah siapa?”
PRANG!!
Bunyi benda yang pecah terdengar jelas, “Nyonya Ranne?”
Aku langsung berlari menuju rumahnya, menyelinap masuk ke dalam perkarangan rumahnya. Mengendap-ngendap sambil sesekali mengintip ke belakang – takut nanti jika ada seseorang memergoki ku dan mengatakan bahwa aku ini maling.
“HAHAHAHAHA.”
Suara tertawa itu begitu jelas setelah aku sampai di bagian belakang rumahnya, lampu di sini memang masih menyala. Benar dugaan ku, pasti Nyonya Ranne ini yang mengadakan pesta. Apa dia tidak tahu bahwa ia sudah mengganggu tetangga lain. Aku semakin meninggikan tubuh ku, mencari siapa saja yang sedang ikut berpesta.
Tapi-
“Tidak ada orang.”
Aku kembali bersembunyi – berjongkok – rasa takut kian menjadi. Seketika saja bulu kuduk ku berdiri. Dengan bibir sedikit bergetar, aku mengambil ancang-ancang untuk berlari dan
“AAAARRRRRGGGGHHHHH!!!”
Sebuah teriakan terdengar jelas dari rumah Nyonya Ranne, sontak aku terduduk dan segera berlari meninggalkan rumah itu. Jeritan itu semakin membuat ku merinding, Tidak terpikirkan oleh ku untuk melihat siapa yang menjerit. Aku tidak peduli.
Bahkan aku sama sekali tidak menoleh ke belakang dan segera masuk ke dalam rumah. Ku biarkan sepatuku tetap melekat di kaki dan ku kunci semua pintu serta jendela. Dengan tubuh yang gemetaran aku langsung kembali ke kamar dan mengunci pintuku. Aku meringkuk ketakutan di balik selimut tebal dan menutup telinga ku.
“Aku tidak tahu. ... aku tidak tahu ... aku tidak ta–“
Dentingan merdu piano dengan memainkan partitur Bethoven terdengar lagi. Ini sudah kesekian kalinya untuk hari ini. Aku melirik ke luar jendela, “aku tidak akan mengintip.” Aku terus mengucapkannya secara berulang.
CLACK!
Suara kunci pintu yang terbuka, “Arthit?” aku terkejut dan mengintip dari lobang kunci. Terlihat dengan jelas, Arthit melintas keluar.
“Apa yang sedang kau lakukan?” Aku mengembalikan selimut ku dan membuka kunci pintu kamar, bisa ku lihat – Arthit sedang mengendap turun dan melihat ke arah dapur. “Ha. Aku lupa mematikan lampu dapur.”
Setelah mematikan lampu, Arthit menuju ke sisi jendela dan sedikit mengintip keluar jendela – dia terkejut.
“Arthit.” Aku segera turun dan menuju ke arahnya. Dari sini, aku bisa melihat cahaya merah kelap kelip sudah ada di depan rumah kami, dengan langkah pelan – aku menggeser sedikit gorden dan mengintip secara perlahan.
Beberapa polisi yang sudah berdiri di jalan depan, mereka terlihat sangat sibuk sambil menunjuk ke suatu arah. Dua petugas ambulance membawa tandu pasien dengan .... Nyonya Ranne di atasnya.
Mata ku terbelalak.
Tapi untuk saat ini. Sebenarnya aku tidak terlalu tertarik dengan itu – Justru aku tertarik dengan suara piano yang semakin kencang, padahal di seberang rumahnya sedang terjadi peristiwa pembunuhan.
“Tunggu dulu, pembunuhan?” aku langsung berlari menuju pintu belakang, tak ku hiraukan Arthit yang masih terkejut di pintu depan. Tetangga di sekitar rumah sudah berdiri sedikit jauh dari rumah Nyonya Ranne – bahkan yang membuatku terusik adalah bunyi piano yang semakin menambah kecemasan.
Dengan cepat, aku langsung mendatangi rumah sebelah yang masih saja memainkan piano dengan partitur yang berbeda ... tidak, ini bukan partitur dari komposer terkenal. Melainkan sebuah partitur kacau yang tidak memiliki arti.
Aku mempercepat jalanku dan mengambil sebuah batu ukuran sedang dan
PRANG!!!
Aku terkejut,
Di balik jendela itu, tidak ada seorang pun yang sedang bermain piano. Bahkan udara sesak penuh debu menyelinap keluar dari ruangan itu.
Aku terduduk, kebingungan apa yang sedang terjadi?