Suara
pianonya berhenti? Apa lemparan ku tadi sampai kena pianisnya? Gawat, bisa-bisa
aku ditangkap karena kasus penyerangan rumah orang.
Kepala ku masih sangat sakit – apa mungkin saat aku melemparkan batu itu, batunya sempat mengenai kepala hingga bisa menimbulkan sakit yang berlebih? Aku mencoba untuk mempertahankan kesadaran ku. sedikit demi sedikit ku buka mata ku dan mencoba menatap ke atas. Sial, langit terlalu cerah hari ini. Menatapnya saja sudah cukup membuat mata ku berkunang-kunang.
Aku tidak mendengar keriuhan seperti tadi, apa jangan-jangan evakuasi jenazah Nyonya Ranne sudah selesai? Berarti benar, apa yang ku dengar semalam adalah teriakannya. Apa yang terjadi?
“Apa yang kau lakukan di sini?” Pertanyaan dengan nada pelan membuatku terbangun. Aku menoleh – tampak seorang laki-laki seumuran dengan Arthit berdiri di belakang ku. Wajahnya belum bisa ku lihat dengan jelas, hanya saja ia terlihat seperti Arthit dari perawakannya
“Ha ... kau memecahkan jendelaku,” teriak kaget pria itu. Dia mendekati jendelanya sambil menggaruk kepala. “Kenapa kau memecahkan jendela ku? Bagaimana cara ku untuk memperbaikinya?” tanyanya. Dia berbalik dan mendekatiku sambil menyipitkan mata. Apa mungkin dia akan marah padaku? Gumam ku sambil bergerak mundur perlahan. Meskipun hanya mundur perlahan, rasa sakit di kepala ku dan perih pada wajah ku terasa sangat menyakitkan.
“K-Kau siapa?” tanya ku dengan nada terbata. Benar, dia ini siapa? Wajahnya kini sudah terlihat jelas. Begitu asing – pikirku – selama aku dan Arthit di sini, kami tidak pernah melihat tetangga seperti dia.
“Aku Nhung, kau siapa?” tanyanya sambil bersedekap. Sepertinya ia tengah menungguku menjawab pertanyaannya tadi.
“Aku Chai, aku penghuni baru yang tinggal di rumah itu,” kata ku sambil menunjuk ke arah rumah. Aku mencoba perlahan untuk berdiri lalu membersihkan tubuh ku. Ku tepuk pelan kedua lutut dan bagian belakang ku. “Kau yang beberapa hari lalu ku lihat sedang bermain piano bukan?”
“Iya,” jawab singkatnya. “Jujur saja, aku tidak suka jika dilihat seperti itu.” Nhung memberikan sapu tangan untuk membersihkan wajahku yang ternyata terkena pecahan kaca jendela.
“Maaf, aku bukan bermaksud melihatmu pada malam itu. Aku hanya terkejut mendengar seseorang bermain piano dari rumah ini karena aku kira rumah ini tidak memiliki penghuni.”
“Aku ada di sini. Itu saja. Ayo masuklah. Aku akan mengobatimu.”
Tawaran Nhung ku terima langsung. Luka di wajah ku memang sedikit perih karena sempat terkena beberapa tetes keringat.
✦✦✦✦
Nhung mempersilahkan ku masuk dari pintu belakang. Aku sedikit terkejut. Ternyata, rumah ini begitu luas jika dibandingkan dengan tampak depan. Beberapa foto keluarga berjejer rapi dan piala serta piagam penghargaan juga tersusun rapi di lemari kayu jati yang sangat lebar. Rasa hangat menyelimuti penuh rumah ini.
“Untung saja batu mu tidak merusak piano ku.” Nhung mempersilahkan ku duduk.
“Maaf. Aku tadi sangat panik.” Aku menundukkan kepala ku.
Bagi ku, respon Nhung barusan sedikit menjelaskan sifatnya yang baik dan hangat. Dia bahkan tidak mengeluarkan kata kasar untuk memarahiku karena lemparan itu.
“Kenapa?”
Aku menelungkup. Aku tidak berani menatap langsung wajah Nhung. “Aku sangat panik ketika kerumunan ramai dan juga ada mobil polisi datang ke rumah Nyonya Ranne. Bahkan aku sangat terkejut ketika melihat Nyonya Ranne dibawa masuk ke dalam ambulance.”
“Ambulance? Polisi? Apa kau sedang mengigau?”
“Heh? Jelas tadi aku melihat–” Mata ku terbelalak. Kerumunan yang ku maksud, mobil polisi dan ambulance yang ku maksudkan ternyata tidak ada. Bahkan disekitaran sini terlihat sangat sepi seperti biasa. Tubuh ku melemas, sekarang aku sedang dirasuki oleh ketidakmengertian akan kondisi sekarang.
Bukankah beberapa saat yang lalu, aku melihat dengan jelas apa yang terjadi di depan rumah Nyonya Ranne. Aku juga melihat Pak Tua Maurer dan pasangan sombong itu juga ada di sana. Bahkan aku melihat Arthit terbelalak sambil menganga.
“Apa kau sedang sakit?” Nhung melanjutkan membersihkan wajahku, dia akhirnya melekatkan plaster luka di pinggir pelipis mata ku. “Kenapa kau pikir ada polisi disekitar rumah wanita menyebalkan itu?”
“Wanita menyebalkan?” Aku mengangkat alis ku. “Maksudmu Nyonya Ranne?”
Nhung menghela nafas. Dia merapikan kotak P3K dan berbalik. “Tentu saja dia. Emang siapa lagi yang sedang aku bahas?”
“Aku pikir kau sedang membahas pasangan sombong itu.”
“Tidak, yasudah lah ... aku akan membuatkanmu teh.”
Nhung meninggalkan ku sendirian di ruang tengah. Aku sedikit memijat kepala ku. mungkin aku baru saja mengalami benturan keras sehingga berbicara melantur seperti tadi.
Ku lirik seisi rumah. Banyak sekali kumpulan buku partitur piano yang bertumpuk di sudut ruangan. Aku juga memperhatikan banyak sekali foto keluarga yang ada di dinding ruangan itu. Di setiap dinding.
“Keluargamu senang sekali berfoto.”
Nhung menyeringai, “kau benar. Ayahku tidak ingin kehilangan momen sedikti pun. Jadi dia memotret setiap momen kebersamaan kami.” Nhung meletakkan nampan dan menuangkan teh. Dia terlihat sangat mahir dalam menyajikan hidangan untuk para tamu.
Nhung ini sedikit berbeda dengan Arthit. Setidaknya Nhung lebih tahu bagaimana cara memperlakukan tamu dengan sopan.
“Lalu ini siapa? Sepertinya aku tidak asing dengan wajahnya.” tanya ku sambil menunjuk ke arah foto seorang gadis cantik yang menggunakan gaun putih dengan rambut terurai.
“Itu Anh. Dia cantik bukan?” Mata Nhung berbinar. Terlihat jelas senyum bahagia tengah ia keluarkan. Senyum dari seorang yang sedang jatuh cinta.
“Kau benar. Dia sangat cantik, apa dia pacarmu?”
Nhung tersipu malu, dia langsung menyajikan kudapan kecil untuk dinikmati. “Dia bukan pacar ku. Dia sahabat ku dari kecil.”
“Ha ... kau ini. Wajahmu tidak bisa membohongi ku. Kau menyukainya bukan?” Aku mulai menggoda Nhung yang wajahnya semakin memerah. Ini benar-benar menyenangkan. Memergoki seseorang yang sedang jatuh cinta itu sangat menyenangkan.
“Berhentilah menggodaku.” Nhung memberikan cangkir teh bagian ku, kemudian memandang foto Anh. “aku memang menyukainya, tapi aku rasa tidak mungkin untuk menyatakan perasaanku.”
“Kenapa?” tanya ku sambil mengunyah kudapan manis yang disediakan Nhung.
“Karena ibu nya melarang kami untuk berpacaran,” ucap Nhung yang tertunduk. Nada bicaranya seketika melemah.
Aku terdiam, ku letakkan kembali cangkir teh yang ingin ku minum. “Pasti berat menahan perasaanmu di saat ada orang yang melarang.”
“Tidak perlu berekspresi seperti itu.” Nhung kembali menyeringai, “dia anak Nyonya Ranne. Wanita yang tadi ku sebut menyebalkan. Jadi tidak mungkin kami akan bersatu.”
Anh, anak Nyonya Ranne. Aku kembali teringat, saat itu aku berkunjung untuk memberikan beberapa oleh-oleh dari ibu. Nyonya Ranne menyuruhku menunggu sebentar di ruang tengah. Saat sedang bermain dengan kucing peliharaan Nyonya Ranne, aku sempat melihat beberapa foto yang tersusun rapi di atas meja panjang yang letaknya sedikit menepi. Benar, foto gadis ini sama seperti gadis di foto itu.
“Wajar saja aku seperti pernah melihatnya.”
“Anh selalu saja dilarang untuk menemui ku. Padahal rumah kami sangat dekat. Jika tidak sengaja mata kami bertemu, Nyonya Ranne langsung menariknya dan mengurungnya di dalam kamar. Aku tidak tahu apa yang terjadi pada Anh jika dia sedikit membantah Nyonya Ranne, tapi sepertinya Nyonya Ranne pasti memukulinya.”
“Nyonya Ranne memang terlihat sangat kasar. Aku bisa membayangkannya.” Aku kembali mengangkat cangkir teh dan berusaha untuk menikmati teh buatan Nhung.
Tunggu sebentar, bukankah ini suatu hal yang menarik? Menyatukan dua insan sepertinya menyenangkan. Ditambah lagi si Nhung ini sepertinya laki-laki yang santun dan Anh sepertinya wanita yang baik. “Mungkin aku bisa membantumu.”
Nhung tersedak, beberapa makanan yang sudah ia kunyah keluar begitu saja. Wajahnya kembali memerah.
“Kau jorok.” Aku sedikit memundurkan kepala ku sambil memberikan beberapa lembar tisu.
“Maaf, aku hanya kaget saja.”
“Kenapa harus kaget? Aku ini sedang menawarkanmu bantuan untuk dekat dengan Anh. Lagipula kau dan Anh sepertinya sudah cukup dewasa untuk menentukan masa depan dan hubungan percintaan kalian sendiri. Untuk masalah Nyonya Ranne, mungkin aku bisa mengakalinya.”
“Kau yakin?”
“Sangat yakin.” Aku mengacungkan jempol ku. Menunjukkan pada Nhung bahwa aku sudah mulai membulatkan tekad ku menjadi perantara hubungan mereka.
Nhung tampak berpikir panjang, aku menepuk pundah Nhung. “Nhung, tidak ada salahnya jika kita mencoba. Lagian juga, jika kalian berdua menunjukkan keseriusan kalian dalam menjalin hubungan. Aku yakin pasti Nyonya Ranne akan tersentuh dan merestui hubungan kalian.
“Baiklah. Aku setuju.”
“Oke, kita sepakat.”
Sore itu aku sudah berjanji pada Nhung untuk membantunya dalam mendekati Anh. Aku rasa ini juga salah satu cara untuk melupakan kejadian aneh yang aku rasakan tadi. Aku tidak punya waktu untuk memikirkan benar apa yang sebenarnya terjadi karena sekarang, Nhung dan Anh harus disatukan.
Nhung terus senyum sumringah – aku berpikir – bahwa pria yang ku rasa menyeramkan malam itu karena memainkan piano di malam hari, ternyata begitu ramah dan hangat ketika bicara. Ia bahkan mempunyai tatapan meneduhkan yang membuat semua orang yang bicara dengannya akan merasa nyaman.
✦✦✦✦