Keesokannya aku bangun lebih awal, hari ini aku berniat membantu Nhung lebih dekat dengan Anh. “Arth
it mungkin belum bangun,” ucap ku sambil berjalan menjinjitkan kaki ketika melewati pintunya.
Aku tidak bermaksud ingin menganggunya, aku sangat menjaga langkah ku agar tidak membangunkannya. Dia pasti butuh tidur lebih. Apalagi jurusan perkuliahannya memang memaksanya untuk kerja ekstra.
Aku berjalan mengendap hingga luar rumah, Nhung sudah menyambutku dengan senyuman lalu berbisik, “biasanya, Anh selalu menyapu halaman belakang setiap pagi,” bisiknya sambil sesekali memperhatikan halaman rumah Anh. Sepertinya Nhung tengah bersemangat pagi ini.
Aku mengangguk dan berjalan perlahan menuju rumah Nyonya Ranne, aku harus bisa membaca situasi – salah langkah, bisa ketahuan si Nyonya Ranne dan benar – gadis cantik yang bernama Anh sedang bersenandung sambil menyapu halaman.
“Permisi,” ucap ku dengan sedikit menunduk.
“Heh? Kau siapa?” tanyanya sambil menggenggam erat sapu. Sepertinya ia sedang dalam posisi siap memukul.
“A-Aku penghuni rumah di depan.”
“Rumah depan?” Anh memanjangkan lehernya, memperhatikan rumah ku dari kejauhan. “Ohh penghuni baru itu,”
“Iya, namaku Chai. Senang bertemu denganmu.”
“Ha, aku Anh. Senang juga bertemu denganmu. Ngomong-ngomong, ada apa kau kemari? Kau mencari ibuku?”
“Bukan, aku ingin memberikan ini.” Aku memberikan sebuah surat kepada Anh, jujur saja – pagi itu sama sekali tidak ku lihat Nyonya Ranne. Setahuku, Nyonya Ranne biasanya sibuk menyiram bunga ataupun sibuk mengurusi kucingnya di depan rumah.
“Kemana Nyonya Ranne?” tanya ku yang masih mencari sosok Nyonya Ranne.
“Dia pergi ke Nothaburi.” Anh membuka surat itu dan tersenyum malu, “Apa kau seorang penyampai pesan yang baru?” Anh lalu mengajak ku masuk ke dalam rumah. Dia menghidangkan teh dan duduk dengan wajah tersenyum.
“Aku baru saja menawarkan diri untuk menyampaikan surat dari Nhung,” ucap ku sambil melepaskan sepatu ku. “Jika Nyonya Ranne pergi, kenapa kau tidak menemuinya?” tanya ku.
“Tidak. Aku tidak ingin ketahuan jika menemui Nhung. Aku tidak ingin dia disalahkan jika terjadi apa-apa dengan ku.”
Aku mengernyitkan dahi lalu bersedekap, “kenapa Nyonya Ranne tidak suka dengan Nhung?” pertanyaan itu akhirnya terlontar. Rasa penasaran ku semakin besar karena penolakan yang diberikan Nyonya Ranne.
“Kata ibu, Nhung tidak bekerja. Dia juga orang yang tidak bisa bekerja keras. Jadi aku tidak akan bahagia jika menjadikan Nhung sebagai pasangan.”
“Jadi ini semua malah ekonomi?” Aku bersandar. Baiklah sampai di sini sangat jelas. Nyonya Ranne adalah tipe ibu mertua yang sangat mencintai uang dan Nhung kebetulan adalah seorang pengangguran yang memiliki fisik lemah. Wajar saja jika Nyonya Ranne menolaknya begitu keras.
“Kau benar.” Anh menghela nafas sedikit berat.
Aku meregangkan tubuh ku, “lebih baik kau balas dulu saja suratnya. Aku akan membantu kalian untuk lebih dekat. Lagipula tidak ada salahnya jika mencoba lebih dahulu. Tidak ada yang tahu nasib Nhung dan kau ke depannya.”
“Benarkah? Kau akan membantu kami?”
“Itu benar. Jadi cepatlah baca surat itu dan balaslah. Aku akan membantu kalian semaksimal mungkin.”
Anh beranjak menuju kamarnya dan mengambil pulpen serta kertas. Ia langsung menulis balasan dengan wajah yang tak henti-hentinya tersenyum.
Aku sempat berpikir, kenapa Nyonya Ranne begitu tega melarang anaknya untuk dekat dengan Nhung? Bukankah terlalu egois jika melarang Anh seperti ini? Apalagi jika alasannya ekonomi, itu terlalu berlebihan. Memberikan kesempatan untuk Nhung berusaha adalah jalan terbaik. Bukankah semua akan berjalan baik jika sudah dapat restu dari Nyonya Ranne? Kadang aku tidak mengerti cara berpikir orang tua.
“Aku sudah selesai.” Anh memberikan suratnya dengan garis wajah yang tersenyum bahagia.
“Ha. Baiklah, akan aku sampaikan.” Aku berpamitan lalu berjalan cepat menuju rumah Nhung.
“Nhung,” panggil ku sambil sesekali mengetuk pintu belakangnya. “Nhung.” Aku menelengkan kepalaku dan sedikit mengintip melalui jendela, “Nhung?”
Aku bersedekap, padahal beberapa belas menit yang lalu Nhung masih berdiri di depan pitnu rumahnya.
“Apa mungkin dia sedang mandi?” Setelah beberapa jam menunggu, ku putuskan untuk kembali ke rumah. Ku regangkan tubuh ku sambil mengangkat surat dari Anh. “Sepertinya mereka berdua memang saling jatuh cinta. Anh itu punya ekspresi yang sama saat aku bicara dengan Nhung.” Aku mencoba untuk menutup mata.
Tok tok.
Aku menoleh, “siapa yang mengetuk pintu belakang?” sedikit ku intip dari lubang kunci pintu itu. “Nhung?”
“Chai, ini aku Nhung,” teriaknya. Dia mengetuk semakin keras.
Aku langsung membuka pintu, dia tampak berkeringat, “apa yang terjadi, Nhung?”
“C-Chai, T-Tolong aku,” Nhung terduduk lemas, dengan nafas yang terengah- dia mencoba untuk berdiri. “A
nh ... Anh ... dia meninggal.”
✦✦
Aku terdiam, mulut ku menganga. Aku langsung mengambil surat balasannya dan memberikan pada Nhung dengan gemetaran, “T-Tapi dia tadi m-memberikan b-balasan suratnya.”
“Hah?” Nhung langsung membaca surat itu lalu menatap ku. “Chai.” Nhung memberikan surat itu lalu menangis.
Pernahkah kau mendengar musik piano di tengah malam?
Aku pernah. Dan sekarang aku sedang menikmati musik itu dari balik jendela.
Sejak pertama kali mendengar denting piano mu- aku seolah sedang disihir lalu tersadar bahwa kaulah orang pertama yang membuatku jatuh cinta.
Nhung, aku tahu hubungan kita tak ‘kan berhasil.
Dokter mengatakan bahwa aku akan pergi di akhir bulan Februari nanti, jujur saja aku takut. Aku takut pergi tanpa dirimu.
Tapi, seorang laki-laki seumuran kita datang dan mengatakan akan membantu kita. Aku menjadi tidak takut lagi kehilanganmu. Aku sangat mencintaimu, Nhung. Aku sangat mencintai laki-laki pemalu yang menatap wajah wanita saja tidak bisa.
Maka dari itu, aku ingin pergi dengan perasaan bahagia ini.
Aku ingin pergi selagi aku merasakan indahnya jatuh cinta.
Aku mencintaimu, Nhung.
Dari Anh.
Mulut ku kali ini benar benar menganga. Aku bahkan tidak berkedip untuk beberapa detik, Nhung masih saja menelungkup dengan air mata yang tak henti-hentinya keluar. Ku tepuk pundak Nhung, “ayo kita lihat Anh.”
Nhung menggeleng. Dia meremas tangan ku. “Aku tidak bisa, Chai.”
“Nhung!!”
“Aku tidak bisa Chai, aku tidak bisa. Aku tidak bisa menerima jika Anh sudah tiada.” Nhung terduduk, dia terus menggigit ibu jarinya hinggaa sedikit mengeluarkan darah.
“Nhung, dengarkan aku. Nyonya Ranne sedang ke Nothaburi, jadi kita bisa pastikan apakah ... Ah tidak, kita pastikan bahwa Anh masih hidup.” Aku langsung menarik tangan Nhung dan memaksanya untuk bangun.
Aku berlari sambil menarik tangan Nhung yang sangat gemetaran, beberapa tetangga sudah keluar dari rumah mereka – mereka nampak berbisik, “kemana perginya Nyonya Ranne?”
Aku menoleh, pasangan suami istri bermarga Kim – sedang berbisik kecil lalu masuk ke dalam rumahnya. Aku juga melihat Pak Tua Maurer yang terlihat sangat kaget mendengar Anh telah meninggal. Sedangkan aku, masih saja terus berjalan pelan mendekati pintu belakang. Belum ada polisi sejauh ini, masih sempat bagiku untuk melihat ke dalam rumah.
Aku terhenti, Nhung menarik tangan ku. “Chai, aku tidak siap.” Dia menatap ku dengan tatapan kesedihan.
“Berhentilah menjadi seorang pecundang.”
Nhung menggigit bibirnya dan mengangguk kecil.
Kami mulai berjalan pelan menuju kamar Anh yang letaknya di dekat pintu masuk depan, “Anh.” Ku buka perlahan pintu kamar yang terbuka sedikit.
Benarkah dia, Anh yang tadi pagi ku temui?
Benarkah dia, Anh yang pagi tadi memperlihatkan senyum indahnya?
Benarkah dia, Anh yang tadi pagi memperlihatkan pesona cantiknya?
Pertanyaanku terkumpul setelah melihat kondisi Anh yang terbujur kaku dengan mulut berbusa dan perut terkoyak.
Nhung langsung berlari keluar rumah, dia memuntahkan isi perutnya- bahkan dia yang memuji merasa tidak nyaman melihat keadaan Anh.
“Tidak ... tidak mungkin ini bunuh diri.” Aku berjalan mendekati jasad Anh, memperhatikan sekeliling ruangan- dan mencari apa yang salah dari kondisi ini. Tidak mungkin Anh bunuh diri dengan cara kejam seperti ini. Aku sedikit mengendus mulut Anh yang mengeluarkan busa. “Apa Anh mengkonsumsi obat?”
“Setahuku Anh hanya mengkonsumsi peningkat imun tubuh.” Nhung mengelap mulutnya lalu berjalan ke arah ku “dia punya imun tubuh yang lemah.”
Sedikit aneh, walaupun aku seorang mahasiswa seni- aku sedikit tahu tentang obat-obatan penguat imun tubuh. Kakak perempuanku adalah orang yang punya sistem imun lemah, “apa mungkin Anh tidak-”
“Tunggu. Seseorang sengaja meletakkan busa itu di mulutnya.”
“Apa maksudmu?”
“Sianida, dia diracuni sianida.” Aku kemudian mencari ke sekeliling rumahnya, mencari ke segala sisi. “Nhung!!”
Di kamar mandi lantai 2, sebuah bath tub berlumuran darah. Dengan dinding yang penuh dengan bercak tangan yang dilumuri darah. Tak hanya itu, westafel juga penuh dengan tisu yang dipenuhi darah dan-
“Dia juga diperkosa.”
Nhung terkejut, dia langsung menarik kerah leherku dan berteriak, “tidak mungkin!!!”
Aku menatap Nhung dengan mata yang sudah samar-samar, sedikit berat rasanya ketika memberitahu Nhung bahwasanya Anh meninggal karena dibunuh.
“Katakan padaku, Chai! Tidak mungkin Anh diperkosa lalu dibunuh.”
Aku memberikan sebuah tisu yang berada di westafel. Aku mengambil plastik sabun yang ada di sekitar dan memasukan tisu itu. “Kau bisa menciumnya sendiri jika tidak percaya, Nhung.”
Nhung meringkuk, ia meremas dadanya lalu merintih kesakitan. “A-Anh ... Jangan tinggalkan aku.”
Beberapa belas menit kemudian, polisi tiba di lokasi kejadian. Nyonya Ranne terduduk lesu dan menangis begitu kencang. Sedangkan tetangga lain melirik sinis, seolah tatapan mereka mensyukuri kepergian Anh- dan Nhung, diam menggigit jari sambil mengintip di balik jendela. Aku hanya diam dengan air mata yang mengalir, “Anh.”
Jenazah Anh sudah diangkat ke ambulance dan siap untuk di autopsi, sedangkan Nyonya Ranne masih men
angis sesengukan. Salah satu polisi menunjukkan sebuah surat kepada Nyonya Ranne.
“NHUNG!!!!”
Teriakan Nyonya Ranne mengagetkan semuanya, “Nhung!!! Nhung!! Keluar kau, dasar pembunuh!!”
Aku dengan sigap lalu menahan Nyonya Ranne, sayangnya Nhung malah keluar dan dihajar habis-habisan oleh Nyonya Ranne.
“Pembunuh.”
“Aku bukan pembunuh.”
“Pembunuh.”
Aku menarik tangan Nyonya Ranne dan-