(VII)

            
    Pandanganku kabur, bagian kepala belakang ku sangat terasa sakit. “Dimana aku?” tanya ku yang terus mencoba untuk mempertahankan kesadaran.

Tidak ada yang menjawab.

Apa yang terjadi? Aku berpikir sejenak. Ya, sepertinya aku mulai ingat sesuatu yang menyakitkan. Anh telah meninggal dunia. Dia telah pergi meninggalkan ku.

Dan sekarang aku sedang dituduh habis-habisan oleh Nyonya Ranne sebagai pembunuhnya. Orang itu mudah sekali menuduh orang, apa dia tidak sadar–mendekati Anh saja aku sangat malu. Apalagi memperkosa lalu membunuhnya. Aku menatap langit kamar ku, ku pegang pipi kanan ku, “argh.” Semua tubuh ku mendadak sakit. Sepertinya  Nyonya Ranne berniat membunuhku.

 

✦✦

 

Sejujurnya ini sangat sakit, selama tiga hari ini–Nyonya Ranne selalu saja memukulku tanpa mendengarkan penjelasan. Ia bahkan rela menyelinap masuk ke kamar ku lalu menghajar ku habis-habisan. Dia mulai gila sendiri, padahal coba dengarkan dulu penjelasan dari ku. Bahkan karena mencemaskan ku. Ayah dan Ibu juga belum kembali ke Nothaburi bahkan sejak prosesi kremasi Anh. Aku juga dilarang keras untuk menghadiri upacara kremasi.

Mana mungkin aku menuruti, aku diam-diam masuk ke bagasi mobil lalu ikut ke tempat pengekremasian. Meskipun akhirnya aku ketahuan dan dipukuli oleh Nyonya Ranne. Ayah bahkan ikut di pukuli karena melindungi ku.

 

“Anh, aku sangat mencintaimu,” ucap ku yang terus mengenggam erat salah satu foto Anh yang sengaja ku simpan untuk pelepas rindu. Aku masih tidak tahu apa yang harus aku lakukan sekarang.

Aku mulai menggerakkan kaki ku sedikit demi sedikit, berharap bisa keluar dari kamar ini. Ternyata benar, Nyonya Ranne memukuli sekujur tubuh ku. Kenapa dia tidak sekalian membunuhku agar merasa lega? Apa wanita itu masih memiliki rasa kemanusiaan sehingga tidak ingin membunuhku? Jika benar, kenapa dia masih mau memukuli aku yang bukan pembunuh Anh?

Sekilas ku lihat Ayah dan Ibu sedang berada di luar. Mereka masih berbicara dengan polisi, salah satu anggota juga berjaga di depan pintu kamar ku.

“Mau kemana?” tanya nya. Dia segera menghampiri ku dan menahan tubuh ku agar tidak terjatuh.

“Air.”

Polisi itu langsung membantu ku berdiri, “biar aku bantu.” Dia mengalungkan tangan ku di lehernya. Kenapa dia masih sangat baik pada ku? Padahal aku tengah dituduh sebagai pembunuh oleh wanita itu.

“Terima kasih,” ucap ku sambil berusaha menjaga posisi kaki ku.

Ku lihat sekilas, Nyonya Ranne masih mengamuk di luar sana. Dia terus saja menyebutkan Nhung Pembunuh secara berulang-ulang, polisi itu lalu mendudukan ku di kursi piano dan dia pergi ke dapur.

Selama tiga hari ini, Nyonya Ranne terus berteriak dari luar dan menyuruhku untuk mati saja. Ini tekanan yang menyedihkan bagiku. Ditambah lagi, ini bukan kesalahan ku. Anh meninggal di tangan orang lain.

“Siapa pelakunya?” tanya ku yang akhirnya menangis untuk kesekian kalinya. Polisi yang membawa air minum itu pun menepuk pundak ku, “minum dulu ini.”

“Terima kasih.”

Polisi itu menatap ku sesekali. “Aku tidak membayangkan kau pelakunya. Aku kenal Ayahmu dan aku juga tahu bahwa Ayahmu mendidikmu dengan baik, Nhung.” Polisi yang bernama Khanh itu duduk di depan ku,”Nhung, aku sangat yakin bukan kau pelakunya. Apa ada orang disekitar sini?” Pertanyaan itu membuat diriku kembali berpikir.

Benar juga, aku tidak tinggal sendirian di sekitar Anh. Ada pak tua Maurer, Suami Istri bermarga kan Kim dan juga Ada ... siapa nama orang yang tinggal di sebelah ku ini? – aku lupa namanya. Anh juga sering menyambut baik tamu-tamu Nyonya Ranne. Jadi besar kemungkinan pelakunya juga ada di sekitar sini.

Pikiran ku juga saat ini semakin kacau setelah laporan autopsi mengatakan bahwa Anh meninggal akibat pendarahan akibat pemerkosaan, racun sianida dan luka besar yang ada di perutnya. Jejak pemerkosaan yang ada di tubuh Anh ternyata bukan milikku, melainkan milik orang lain yang saat ini sedang di cari. Tentu saja, bukan aku. Menyentuh ujung rambutnya saja tidak pernah. Nyonya Ranne yang mengetahui laporan itu mendadak histeris – bukan karena penyebab kematiannya, tapi karena bukan aku yang membunuh Anh. Dia bahkan membanting semua barang yang ada di rumahnya.

Bagaimana dengan aku? Tentu saja aku saat tahu tentang laporan itu aku hilang akal –  histeris lalu menangis begitu kencang.

Kematian yang pahit untuk seorang gadis cantik bernama Anh.

✦✦

 

Selama tiga hari ini, aku selalu saja memainkan alunan Bethoven - Moonlight Sonata. Aku sedikit tahu cerita dari alunan manis di balik ini. Tapi sepertinya, Bethoven tidak tahu bahwa salah satu penikmat karyanya mengecam pahit karena ditinggal pergi oleh seseorang yang dicintainya. Aku terus memainkan partitur ini secara perlahan, bahkan pasangan Kim selalu mengetuk pintu dengan keras lalu berteriak, “Pembunuh, kau harus diam.” Aku mengabaikannya. Pasangan sombong itu cuma bisa mengatakan hal yang tidak mereka ketahui.

Aku biasanya melemparkan barang apa saja ke arah pintu sebagai penanda bahwa aku mendengar teriakan konyol dari pasangan itu. Tapi untuk hari keempat setelah Anh pergi, semua orang seolah tidak peduli dengan bunyi piano ku. Bahkan Ibu menyuguhkan teh lalu pergi ke lantai dua. Bahkan Ayah sesekali duduk di sofa yang ada di belakang Grand Piano sambil membaca koran atau adik laki-laki ku yang turun lalu memasangkan syal merah ke leher ku.

Sesekali aku bertanya pada mereka semua, “kenapa Anh harus pergi?” Jawaban yang aku harapkan ternyata hanya sebuah pelukan hangat dari Ibu yang sesekali menangis. Ayah yang mengambil pensiun dini dari kepolisian untuk mengawasi ku agar tidak melakukan hal yang berbahaya. Sepertinya Ayah tahu benar bahwa mental ku sudah tidak sehat. Yang mereka takutkan hanyalah aku yang memikirkan untuk bunuh diri.

“Ayah menyelesaikannya dalam waktu empat hari,” kata Ayah yang memasangkan ku sweater itu. “Sangat pas untukmu.” Ayah mengacungkan jempolnya. Garis senyum terlihat jelas di wajah Ayah.

Aku langsung memeluknya dan menangis di pelukan Ayah. Ayah menepuk pelan punggungku lalu menceritakan saat-saat manis yang pernah kami semua lalui. Entah kenapa, Ayah ku menyebutkan satu nama yang membuatku berpikir bahwa dia yang–

“Nhung, ada apa?”

“Tidak. Tidak apa-apa, Ayah.” Aku menggeleng dan kembali mendengarkan cerita Ayah. Ayah terlihat bahagia saat itu. Ia bahkan mengambil beberapa album besar dan menceritakan setiap foto yang ada di sana. Ibu dan Linh juga duduk di antara kami.

Ayah memang dari dulu senang mengambil gambar. Dia bahkan mengambil foto ku dan Anh ketika hari pertama masuk sekolah.

“Nhung, Ayah tidak tahu apa yang harus Ayah lakukan. Tapi untuk sekarang, beristirahatlah. Kau butuh waktu untuk memikirkan dirimu sendiri,” ucap Ayah yang membelai pelan rambut ku.

 

✦✦

 

 

Pukul 21:30

Aku berpamitan untuk kembali ke kamar setelah puas mendengarkan cerita Ayah. Aku segera bergegas mencari surat-surat dari Anh yang ku selipkan di balik kasur ku. Bagaimana aku bisa lupa pada dia yang selalu menjadi pengantar surat untuk Anh, iya dia ... dia penghuni rumah yang ada di samping rumah ku. Rumah besar yang sekarang sudah tidak berpenghuni. Bahkan aku ingat saat Anh terpaksa memberikan surat itu langsung kepada ku karena ingin menghindari dia.

Aku membaca setiap surat yang Anh tulis untuk ku.

 

Aku akan selalu di sini. Selanjutnya kau bisa meletakkan surat di dekat pohon yang ada di depan rumahmu. Aku akan mengambilnya di saat Ibu tertidur.

Nhung, mulai sekarang kau tidak perlu memberikan suratmu melalu dia.

Dia akan menjebakmu suatu saat. Aku bisa membaca jelas gerak-geriknya yang tidak menyukai hubungan kita.

Dia bahkan pernah menggodaku saat memberikan surat yang mungkin aku kira itu darimu. Aku tidak nyaman untuk itu, Nhung.

Aku mohon, Nhung. Jangan menceritakan apapun lagi kepadanya. Dia terlihat sangat licik. Aku hanya tidak ingin suatu saat kau akan dia tempatkan di posisi yang berbahaya.

 

Aku terdiam.

Kenapa aku bisa lupa bahwa surat ini sebenarnya menjadi kunci untuk kasus ini. Benar apa kata polisi itu, aku seharusnya mencurigai orang yang ada di sekitar ku.

Aku kembali ke ruang tengah dan membuka piano ku. Berdiam diri sejenak lalu kembali memainkan Moonlight Sonata – berulang kali memainkan ini tidak membuat ku bosan, partitur Bethoven ini membuatku semakin jatuh cinta. Setelah membaca surat tadi, seharusnya aku berlari menuju kamar orang tua ku dan memberikan surat itu. Bukan malah memilih memainkan piano. Apa perlu aku menunjukkan surat itu pada Nyonya Ranne agar dia percaya?

Sepertinya ku urungkan saja, toh Nyonya Ranne masih akan menuduh ku lagi.

Oh ya aku ingat, sebenarnya aku memainkan piano karena ingin melepas rinduku pada Anh. Ya, aku selalu bilang pada Anh jika aku memainkan piano – itu artinya aku sedang merindukan dia.

Anh, aku sangat merindukanmu.

 

DEP!!

Sebuah hantaman benda keras menghujam punggung ku, ini sangat membuat ku tersentak, sedikit ku tolehkan kepala ku dan–

 

Aku tertelungkup dengan keras, bahkan tuts piano membunyikan suara yang membangunkan Ibu ku. Dengan samar-samar, terlihat seseorang berjalan keluar melalui pintu belakang – dia lalu mengintip melalui jendela yang berada sama persis tempat ku tertelungkup.

Dia menyeringai, tampak gigi sedikit kuningnya menyeringai seperti puas melihat ku. Mata nya sedikit merah, dengan tubuh sedikit berisi.

 Sial ... hantaman barusan membuat ku tidak bisa mengucapkan apapun. Bahkan untuk mengucapkan satu kata saja, aku sudah tidak mampu. Mata ku semakin berat, kesadaran ku mulai hilang. Sepertinya aku akan menyusul Anh tepat di hari ketujuh dia pergi.

“A-Aku ... ingin bertemu denganmu,” gumam ku yang sedikit mendengar samar teriakan seseorang – itu Ibu.

“Nhung!”

“Nhung!! Nhung!!”

Sudahlah, sepertinya aku sudah mencapai batas ku. Aku sudah ditakdirkan untuk mati malam ini. Sial, aku benci mengatakan ini – tapi orang itu telah membantuku untuk segera bertemu dengan Anh.

✦✦

 

Pernahkah kau merasakan hantaman keras yang memacu jantungmu untuk berdetak kencang?

Aku pernah merasakannya dan aku sekarang sedang tertelungkup di atas piano tua yang biasa aku mainkan.

 

Dia, dia pelakunya.

✦✦

 

 

 

Share:
Designed by OddThemes | Hai