Aku tersentak. Mendapati cahaya matahari sudah menembus masuk di antara sela gorden. Bagian belakang kepala ku terasa sangat berdenyut. Nafas ku tersengal, ku gerakkan bola mata ku melihat seisi kamar. Lalu mencoba untuk duduk.
“Sakit sekali,” ucap ku sambil memijat pelan bagian belakang kepala dengan harapan bisa segera reda. Ku lirik jam dinding bundar yang ku pasang di atas pintu kamar. Terlihat jelas bahwa sekarang sudah pukul sembilan pagi.
“Apa Arthit sudah berangkat?” tanya ku sambil sedikit mengintip dari lubang pintu yang mengarah langsung ke kamarnya. Ku tempelkan telinga–aku bahkan tidak mendengar suara apapun dari kamar Arthit.
“Sepertinya dia sudah pergi.” Aku perlahan meregangkan tubuh dan berjalan menuju sisi lemari. Memilah milih baju yang akan aku gunakan untuk hari ini. Aku juga memeriksa beberapa peralatan melukis yang sudah aku siapkan dari semalam–aku terdiam–mencoba mengingat apa yang sebenarnya aku lupakan.
“Nhung, siapa dia?” Nama itu seketika melintas di pikiran. Mengacaukan konsentrasi. Aku terduduk di kursi belajar. Memandangi seksama cahaya matahari yang tengah terselip di antara dahan. “Jendela.”
“Jendalanya?!” Aku ingat sedikit. Semalam bukankah aku tengah bergegas menuju rumah sebelah dan memecahkan kaca jendelanya–Nhung–dia adalah pemilik rumah yang terangan memergoki ku dan mengajakku masuk ke rumahnya.
“Aku harus minta maaf dengan benar,” kata ku yang segera berlari tanpa memakai alas kaki.
Beberapa saat aku tertegun, berdiri tidak terlalu jauh dari jendela yang ku lempari. Jangankan pecah, sebuah goresan saja tidak ada. Bahkan aku tidak melihat ada orang yang tengah mendiami rumah itu. Semua tertutup rapat.
“Apa aku harus merasa lega?” tanya ku sambil menggaruk kepala. Ku langkahkan kaki untuk kembali ke kamar. Aku tengah bermaksud untuk kembali tidur agar sakit di bagian belakang kepala bisa sedikit reda.
“Heh?” Aku berbalik. Menyipitkan mata ku sambil berharap menajamkan telinga ku.
Sebuah alunan sutra tengah menggema dari seberang rumah, aku melirik. “Nyonya Ranne? Apa dia sedang melakukan sebuah upacara?” tanya ku yang berjalan perlahan sambil memperhatikan para undangan yang datang.
“A–“ Tubuhku mulai bergetar. Langkah ku terhenti di saat melihat jelas para undangan yang memasukki perkarangan rumah Nyonya Ranne dengan pakaian serba hitam. Beberapa rangkaian bunga terpampang di depan rumahnya dengan bertuliskan selamat jalan. Beberapa pelayat–sanak keluarga–menangis terisak di balik pagar.
“Ranne.” Seseorang menyebutkan nama itu dengan tangisan yang mengiringi.
Pikiran ku mendadak kosong, mulut menganga. Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Untuk masalah jendela tadi saja sudah cukup membuatku tercengang. “Arthit?” Aku menoleh. Dia berdiri dengan sapu tangan yang menutupi separuh wajah. Matanya memerah. Bekas air mata masih kentara jelas di dua pipinya.
“Arthit, kenapa kau tidak membang–”
“Chai, apakah kau melihat dari sana?”
“HEH?”
“Nyonya Ranne sudah tiada,” sambung Arthit yang kembali menutup wajahnya.
“Apa yang terjadi sebenarnya? Nee Arthit, apa yang terjadi? Dimana Nhung? Anh? Dimana mereka?” Aku menarik ujung jas Arthit sambil memperhatikan wajah sekeliling ku. Semua wajah asing yang terlihat tengah bersedih. Aku juga mendapati si Pak Tua Maurer yang tengah tertunduk–dia ikut berduka–dan pasangan Kim yang sedikit mengeluarkan ekspresi peduli.
“Kenapa kau di sini?” tanya seseorang dari kejauhan. Suara yang khas, aku tahu suara ini.
“Nhung? Kau Nhung, kan?”
Nhung tersenyum dengan Anh di sampingnya, “akhirnya kami bisa bersatu. Terima kasih karena sudah membantu.”
Nhung membuat ku merasakan sesak. Dada ku seolah sedang mengalami tekanan dari hal yang membuat ku merasa sangat lirih. “Sama-sama,” jawab ku yang tengah menggigit bibir. Rasa sesak ini begitu menyakitkan.
“Tidak perlu memasang wajah seperti itu.” Nhung menghampiriku. “Kau juga harus kembali pada saudara kembarmu. Jangan sampai dia menunggumu terlalu lama, Chai.”
“Menunggu?” Aku di sini baik-baik saja.” Aku menelengkan kepala.
“Baiklah, kembalilah pada saudaramu sekarang ...” Nhung menepuk bahu ku. Ia sedikit mendekatkan wajahnya. “..., dia pelakunya. Baca semua suratku, kau tahu kan dimana letaknya.”
“Hah? Ap–“
✦✦
NIT!! NIT!!
Suara alat hemodinamik yang terdengar dengan jelas, bunyi nafasku yang tersendat, pandangan ku samar. Ruangan ini memiliki penerangan yang sengaja diredupkan. Aku mencoba meraba, mendapati tangan seseorang yang tengah menggenggam erat tangan ku–Arthit tengah tertidur pulas dengan kemeja putih yang ku belikan saat itu.
“A-Art-hit,” panggil ku dengan suara yang sangat lemah. Ku gapai sisi tangan Arthit dengan jari yang sedang berusaha ku gerakkan.
Dia tersentak, “Chai...Chai.” Arthit langsung menekan tombol panggilan yang ada di samping tempat tidur ku, “Chai, jangan seperti ini lagi. Aku tidak ingin kau tinggalkan lagi.”
Aku mencoba untuk tersenyum. Wajah ku sedikit kaku untuk memasang ekspresi. “S-Surat,” ucap ku dengan nada terbata.
“Hah?”
Seorang dokter dengan bau rumah sakit yang khas dan beberapa perawat bergerak cepat untuk memeriksa. Bahkan mereka juga menyuruh Arthit untuk keluar. Aku mengurungkan niat ku. Lebih baik nanti saja. Aku harus bisa memilih waktu yang tepat untuk bisa memberitahu Arthit tentang surat itu. Lagipula aku harus memilih kalimat yang tepat untuk meminta pada Arthit, dia akan merasa bingung dan takut jika aku berbicara tanpa berpikir.
Aku memperhatikan pergelangan tangan ku. Seorang perawat memberikan suntikan di bagian tangan ku.
✦✦
Gelap.
Suara disekitar ku terdengar samar. Dua orang sedang berbicara serius dari ujung ranjang ku. Aku menajamkan penciuman ku. Arthit biasanya selalu memakai parfume yang beraroma kuat. Aku harus memastikan bahwa dia masih di sini.
Hangat sekali. Aku mencoba untuk mengintip. Tangan Arthit kembali menggenggam erat tangan ku yang masih sulit digerakkan. Ia tidak mengajakku bicara, dokter menjelaskan bahwa aku masih sangat lemah.
Beberapa bunga juga tertumpuk di sofa cokelat yang ada di sudut ruangan. Pikiranku menerawang. Aku mencoba untuk tetap mengingat pesan terakhir dari mimpi panjang yang baru saja aku ikuti.
“Arthit,” panggil ku.
“Hm, ada apa Chai?” tanya Arthit yang menguap lebar. “Apa kau haus?”
Aku menggeleng. Aku bisa melihat lingkar hitam matanya sudah mulai terlihat jelas. “K-Kau pasti begadang terus.” Ku tepuk tengan Arthit yang masih saja menggenggam. “Jangan sampai mata mu menjadi hitam karena begadang ya.”
“Kau ini, baru saja sadar sudah mulai mengatur.” Arthit tersenyum lalu berjalan menuju meja di bawah televisi. Dia mengambil beberapa botol air minum dan meletakkannya di rak samping. “Teman kuliahmu memberikan banyak sekali bunga dan makanan. Mereka semua mencemaskanmu.”
Tubuh ku sedikit lemas. Ku gerakkan tangan ku untuk bisa menggapai Arthit yang sedang membantu ku untuk minum. “M-Maaf sudah membuat kalian cemas,” ucap ku yang mencoba menggenggam erat tangan Arthit.
“Tidak masalah. Polisi sudah berusaha untuk mencari orang yang menabrakmu. Aku dan Pak Tua Maurer akan berusaha untuk menangkap orang itu.”
Aku tersedak. Mengeluarkan kembali air minum yang baru saja akan mengalir di dalam mulut ku. “A-Aku ditabrak?”
“Chai, kau harus pelan-pelan jika ingin minum.” Arthit mengusap punggung ku. “Maaf jika aku mengatakan hal yang membuatmu tersedak.” Dia kembali menggenggam tangan ku. Dia memang menjalankan tugasnya sebagai saudara laki-laki.
Aku mendekatkan wajah ku, berusaha menggapai sisi samping Arthit. “K-Kau harus mencari surat di rumah Nhung.”
“Nhung? Siapa dia?” Sorot mata Arthit menajam.
“Dia orang yang tinggal di sebelah rumah kita. Kau ingat orang yang bermain piano saat malam itu? Nama orang itu adalah Nhung. Sekarang kau harus menggantikan ku untuk mencari surat miliknya.”
“Chai, apa yang sedang kau bahas?”
“Aku tidak tahu harus memulai darimana. Jika benar aku ditabrak dan mengalami koma, berarti apa yang aku lihat adalah mimpi panjang untuk memperjelas semuanya.” Aku menopang dagu ku. Berusaha untuk mengatur nafas agar tidak terlalu sesak. “Aku belum bisa bergerak banyak, jadi untuk sekarang ini aku hanya bisa mengandalkanmu.”
“Chai.” Arthit berdiri. Dia memunggungi ku. “A-Apa yang sedang kau bahas? Tolong jangan membuat ku takut. Kau baru saja sadar dan langsung meminta ku untuk melakukan hal aneh. Apa yang sebenarnya terjadi?”
“Aku sudah bilang tidak ada waktu untuk menjelaskannya. Jika semuanya sudah menemukan titik terang, maka kau akan tahu hal yang sebenarnya.”
“Aku tidak bisa membantumu.”
“Arthit!”
Kepalan tangan kasar baru saja menghantam dinding putih yang ada di sampingnya. Arthit bergetar. Cemas menyeruak. “Aku sempat berpikir bahwa aku akan kehilanganmu. Aku sempat berpikir bahwa kau punya musuh kuat yang bisa saja mengambil nyawamu. Aku tidak bisa menjagamu, aku juga tidak bisa melindungimu dari si penabrak itu. Tapi kenapa sekarang kau malah memikirkan hal rumit yang tidak aku mengerti? Kenapa kau begitu memaksaku untuk melakukan hal yang aku tidak ketahui?”
“Arthit, aku ini adalah saudara kembar mu yang egois. Kau tahu benar jika aku akan tetap memaksamu untuk melakukannya.” Aku mencoba menggerakkan kaki ku. Perlahan menuruni ranjang rumah sakit–mencoba menggapai punggung Arthit yang masih saja bergetar. “ K-Kematian Anh, N-Nhung dan Nyonya Ranne ... pelakunya hanya satu.”