𝒦𝑒𝓃𝒶𝓃𝑔𝒶𝓃 𝑀𝒶𝓈𝒶 𝐿𝒶𝓁𝓊
Aku memulai semuanya sendirian. Tersenyum. Menangis. Berharap lalu berbahagia. Semua dilakukan sendiri sembari memandang langit. Tak terbesit sedikit pun untuk mengumpulkan keberanian lalu mengatakan semuanya. Apa yang bisa aku harapkan dari aku yang sebenarnya seorang pecundang? Bukankah dulu aku sudah menjadi seorang pengecut yang tidak berani bicara? Hasil yang ku dapatkan adalah penyesalan yang sering timbul seiring mengenang bagaimana saat dia duduk di samping ku tujuh tahun yang lalu. Bagaimana ramahnya menyentuh hati ku, senyumnya yang membuat ku semakin jatuh cinta. Bahkan sering kali aku membuka akun lama untuk menikmati bagaimana dia dulu ada.
Aku berlama-lama terdiam dalam gelap.
Semua rasa mendadak mati. Bahkan jika rasa kembali hidup, ini akan menjadi liar dan tak terkendali. Aku bukan termasuk orang yang sangat fanatik tentang hal harus punya pasangan. Aku juga tidak akan berbohong, selama tujuh tahun sepeninggal dia–aku juga sering jatuh cinta–mungkin tak akan sesakral itu, tapi lebih ke arah aku sempat jatuh hati pada sosok lain yang berhasil melupakan dia sejenak.
Aku pernah bercerita pukul dua pagi dengan seorang sahabat ku. Dia mempertanyakan hal yang sebenarnya tidak bisa aku jawab; apa yang akan aku lakukan jika dia masih hidup? Pertanyaan itu seolah menusuk sudut hati ku yang tak pernah ku ketahui. Jawabannya tidak tergambarkan. Aku akan gugup jika benar dia masih ada. Lidahku mendadak mati rasa jika benar dia berdiri di depan ku. Aku akan menjadi gagu dalam berbicara tentang perasaan. Karena itu, aku bersyukur jika aku hanya berbincang dengannya melalui khayalan.
Beberapa saat setelah dia pergi. Aku menjadi orang yang naif.
Jatuh cinta pada orang yang sudah tiada itu sangat tidak mungkin. Aku akan segera menjadi pembohong lalu meninggalkan perasaan ku. Aku akan menjadi manusia yang melupakan tangis semalaman karena menyesal. Aku akan menjadi orang yang menjilat ludah sendiri–aku terdiam–mendapati sebuah gambar dimana kita berada dalam satu kenangan. Aku tidak percaya bahwa kita punya empat gambar yang terlihat bersama. Dia dengan senyumannya dan aku dengan kebahagianku sendiri.
Menyadari itu butuh waktu hingga lima tahun dia pergi.
Konyol sekali.
Ini kah yang sempat ku agungkan sebagai rasa jatuh cinta? Aku bahkan tidak mengenal pasti bagaimana tahun-tahun sebelum kami bertemu, aku bahkan ragu jika ia pernah melihat ku sebagai seorang wanita. Aku bimbang, keraguan semakin menjadi di saat seseorang berkata dengan lantang.
“Jangan gila. Bagaimana mungkin kau melanjutkan hidup jika kau saja menanamkan perasaan pada orang yang sudah meninggal?”
Lalu apa yang harus aku lakukan?’
Apa kau tahu rasanya bagaimana menjadi aku?
Bahkan setiap kali bertemu dengan orang yang ku rasa akan berhasil mencuri hati ku, aku selalu terluka. Berharap pada sesuatu yang hidup itu lebih menyakitkan daripada mencintai seseorang yang sudah mati.
Daripada aku harus melihat seseorang yang mulai ku tulis namanya di halaman buku ku bersama orang lain, lebih baik aku mengenang dia selamanya yang tidak akan menjadi milik orang lain.
Jika seperti ini, bukankah aku terlihat egois?
Aku bahkan berbuat tidak adil pada diri ku yang sudah berusaha agar menjadi lebih baik. Lalu apa gunanya aku menghabiskan dua jam lebih berkomunikasi dengan sahabat ku? Aku benar-benar tidak tahu diuntung.
✦✦
Tahun pertama setelah melanjutkan pendidikkan adalah tahun dimana aku terkena pukulan keras yang meremukan seluruh hati ku. Tidak terbayangkan suatu hal yang sebenarnya lazim di dalam kehidupan.
Semua yang bernyawa pasti akan mati.
Seharusnya aku yang hidup pun harus siap menerima jika suatu saat siapapun yang pernah ku lihat akan kembali kepada-Nya. Aku seharusnya menyiapkan semuanya untuk kemungkinan terburuk seperti menangis semalam suntuk atau berkabung untuk waktu yang lama.
Lalu apa yang membuat ku sampai seperti ini?
Aku tidak sempat mengatakan hal yang ingin aku katakan. Terjebak dalam rencana lalu kehilangan semuanya. Aku bahkan terlalu sibuk menghabiskan waktu menuliskan semua keinginan apa saja yang akan aku lakukan jika perasaan ini diterima. Bahkan aku juga menyelipkan satu catatan kecil jika aku ditolak. Lucu sekali bukan? Belum sempat memulai apapun tapi sudah berangan jauh.
Jauh hari sebelum kejadian, ada hal yang membuat ku berani.
Dia saat itu berada dalam jangkauan. Dia bahkan sempat menuliskan beberapa kata yang mewakili bahwa ia sedang tertawa. Aku tidak terlalu pasti apa yang sedang dia lakukan, tapi yang aku tahu adalah hari itu adalah saat dimana aku merasa lampu hijau sudah kembali menyala untuk aku yang sudah lama berhenti.
Tidak ada yang lebih menyenangkan selain melanjutkan hal yang belum kau selesaikan. Saat itu aku merasa sudah bosan menjadi pengecut. Berputar di perasaan yang sama sama melanjutkan perjalanan. Aku ingin sesuatu yang baru. Sesuatu yang pasti melibatkan antara aku dan dia. Hal lain yang ingin aku lakukan bersama dia. Saking berlebihannya aku, aku sempat memimpikan suatu saat kita akan menjadi sepasang kekasih yang terikat janji dengan Tuhan.
Suatu angan yang membuat ku semakin merasa sesak.
Aku tidak bisa melepaskannya. Aku bahkan masih terlalu takut untuk mengakui bahwa sebenarnya aku sudah kalah sebelum berperang. Benar, ini adalah sebuah perang besar–perang dalam menyatakan perasaan–orang lugu ataupun yang selalu bahagia akan mengatakan bahwa apa yang kutuliskan ini adalah sebuah bualan semata dari budak percintaan atau mungkin orang-orang bijak akan memandang ku sebagai orang yang tidak punya pendirian, atau mungkin kalangan manusia pintar akan menilai ku sebagai pribadi yang penuh omong kosong.
Nyatanya aku memang jatuh cinta.
Sebelumnya aku tidak pernah ingin mengatakan hal yang sememalukan itu. Bagaimana mungkin untuk sesuatu yang besar seperti itu bisa mudah dikatakan oleh orang yang sedang mabuk? Sedangkan beberapa hari kemudian akan terjadi pertengkaran yang berujung perpisahan. Aku tidak suka mengatakan kata rumit seperti itu dengan mudah.
Suatu hal yang benar-benar harus dipikirkan dalam keadaan tenang. Aku akan bilang bahwa aku mulai mengatakan kata ‘cinta’ di tahun ketiga dia tiada. Sudahlah, aku menyerah dengan perasaan ku. Aku menyerah pada sikap melupakan. Aku bahagia seperti ini.
✦✦
Apa yang membuat ku berani bahwa aku jatuh cinta padanya?
Ini sedikit membuat ku malu. Aku akan menjadi sering tersenyum jika mulai membuka buku lama yang sebenarnya sudah ku simpan rapi dalam lemari kenangan. Aku kan membaca satu buku lama yang berisi tentang bagaimana aku merasakan apa yang dulu sempat aku sepelekan.
Jatuh cinta pada pandangan pertama.
Mungkin menurut siapapun hal ini adalah hal memalukan yang hanya berlaku pada drama sore ataupun serial dengan judul aneh yang sering tayang di siang hari. Tapi aku benar-benar yakin, bahwa aku jatuh hati saat pertama kali melihatnya.
Siapa yang menyangka kenangan pertama setelah pindah sekolah adalah kenangan terbaik yang akan aku simpan hingga meninggal nanti. Dia berhasil mencuri pandangan ku di saat aku bertanya dimana ruang kepala sekolah. Rasanya aku sedang memainkan peran sebagai murid pindahan yang bertanya pada siswa berandalan, tapi di sini dia adalah orang pertama yang memberikan ku sebuah senyuman.
Aku berlanjut saat pertama kali kami bicara. Dia duduk dengan mengenakan almamater biru dengan parfume bercampur keringat, duduk di samping ku sambil membuka sebuah catatan. Dia berbisik kecil, sambil membolak-balikkan halaman. Aku melirik, mendapatinya sedang tertawa ke arah lain. Aku tidak akan lupa bagaimana aku berusaha agar menurunkan bahu dan terlihat biasa saja. Saat itu aku sedang berusaha menjadi orang yang sedang bersantai.
Aku berkeringat. Aku gugup. Bagaimana mungkin aku bisa terlihat biasa saja di saat orang ini duduk di samping ku? Dia kembali memperbaiki posisi duduknya sambil bertanya suatu hal yang merupakan percakapan kami berdua. Aku senang. Kali pertama kami berbicara adalah saat jam kelas kosong dengan membahas hal yang umum.
Apa yang aku harapkan? Apakah aku terlihat seperti orang yang berharap dia akan bertanya apakah aku sudah punya pacar? Apa aku mengharapkan dia akan bertanya kontak ku? Aku mungkin sudah mulai gila, tapi itu adalah harapan yang sangat mewakiliku saat itu.
Percakapan pertama kali tidaklah panjang. Aku juga saat itu bukanlah orang yang pandai mencari topik pembicaraan. Aku masih menjadi seseorang yang berpikir bahwa bicara seperlunya adalah hal yang wajar.
Aku membuang sebuah kesempatan untuk berkenalan jauh dengannya.
Tidak ada yang terjadi setelahnya. Hanya aku yang berusaha menjadi stalker dengan bertanya ke sana-sini tentang kontaknya. Bahkan setelah mendapatkannya, aku hanya diam sambil memandangi layar ponsel. Aku tidak punya keberanian untuk tiba-tiba mengirimkan pesan.
Beberapa bulan sebelum sekolah selesai.
Aku tidak membuat kemajuan. Hanya berdiam diri sambil menuliskan namanya di sebuah buku bersampul polkadot navy. Aku lupa dimana meletakkan buku itu. Jika buku itu ditemukan oleh orang, aku harap orang itu tidak menertawakannya. Apa yang tertulis di sana bukanlah sebuah lelucon yang pantas untuk dipermainkan. Orang yang berbahagia tidak akan tahu bagaimana rasanya jatuh cinta sendirian.
Penghujung sekolah–perpisahan.
Tidak ada kemajuan selain bicara satu kali. Aku bahkan sadar telah membuang banyak waktu. Aku bukan orang yang pandai dalam membangun hubungan. Saat itu aku masih tujuh belas tahun, mana mungkin aku punya banyak keberanian untuk menyatakan perasaan. Aku harus berpikir panjang. Salah satu langkah saja bisa membuat ku kehilangan semuanya.
Aku tidak ingin dibenci. Aku tidak ingin dia lepas selamanya dari dalam genggaman ku.
Gambar pertama dan percakapan kedua yang aku dapatkan adalah di saat aku baru saja menuliskan nama ku di baju sekolah miliknya. Dia datang dan memintaku untuk menuliskan nama di baju yang sudah mulai penuh dengan tanda tangan orang lain. Aku lupa meminta punyanya, dia langsung saja pergi sambil berlari ke arah lain, sedangkan aku berlari ke arah kelas ku. Sebenarnya aku berharap sesuatu yang lebih. Tapi sudahlah, ini cukup bagi ku.
Saat itu aku membuat berdoa, semoga di masa depan kita akan bertemu.
✦✦
Tidak ada kelanjutan setelahnya. Hanya berjalan di tempat sambil terus berdoa. ‘Semoga kita akan bertemu lalu melanjutkan hal yang tertunda.’ Seperti itulah gambaran dari doa yang selalu aku panjatkan. Hingga suatu hari dia mengirimkan beberapa pesan yang membuat ku kembali berkhayal.
Aku senang untuk itu.
Aku senang tidak dilupakan.
Aku senang masih bisa berbicara baik dengannya.
Tidak ada hal lain yang ku harapkan darinya, aku hanya berharap suatu saat jarak akan tersisa sangat sedikit untuk aku yang tidak pernah melangkah maju,
Tapi sayang sekali, aku kehilangan semuanya di saat Tuhan berkata lain,
Aku tidak mengutuk siapapun, aku hanya menyesali diriku yang terlalu bodoh menahan semua rasa. Apa salahnya mengatakan hal yang sudah ku simpan hampir satu tahun lebih? Ditolak pun tidak masalah, aku bisa melanjutkan perjalanan ku dan mulai melupakan dia.
Aku berdiri dengan tubuh lemas di saat sudah masuk pelataran rumahnya. Kursi tersusun sejajar dengan beberapa orang di bawahnya. Tidak ada yang bahagia saat itu. Semua menangis, termasuk aku. Aku hanya mematung sambil mengambil langkah kecil. Ini bukanlah sebuah drama pahit yang sering aku tonton di televisi. Ini adalah kisah nyata dari aku yang merasa iba pada diri sendiri..
Kenapa harus dia? Kenapa tidak terjadi pada orang yang selalu memainkan perasaan orang lain? Atau kenapa tidak orang jahat saja yang diambil Tuhan? – itu adalah beberapa pertanyaan penuh kekesalan saat aku melihatnya sedang terbaring. Aku kembali terdiam, memperhatikan dia yang sudah terpejam lelap. Apa ini sebuah lelucon? Aku sempat berpikir seperti itu.
Tapi ternyata, petir di siang hari semakin menyambar hati ku yang sudah hancur.
Tidak akan ada lagi catatan baru untuk apa yang akan aku lakukan ke depannya. Tangan ku berhenti menulis sesaat setelah dia pergi. Aku menangisi diriku yang tidak bisa berhenti menjadi seorang pecundang. Aku bahkan hanya bisa menggigit bibir di saat dia akan dimandikan. Aku tidak bisa bergerak.
Waktu ku berhenti di saat itu juga.
✦✦
Apa yang bisa aku harapkan sekarang? Jawaban tidak pernah ku temukan. Aku hanya menyiksa diri sambil terus menatap gambarnya yang sedang tersenyum lebar. Alis mata tebal dengan perawakan tubuh yang biasa membuat ku semakin jatuh hati padanyaa. Tidak ada yang bisa melepaskan rindu meskipun ku habiskan waktu semalaman memandangi memori tentangmu.
Aku tidak bisa meninggalkan semuanya. Waktu dan langkah ku sudah berhenti di saat dia dimakamkan. Aku tidak menguburkan perasaan ku di sana. Aku tidak berniat untuk meninggalkan semuanya saat itu juga. Aku tidak punya keberanian untuk melupakannya.
Benar apa kata sahabat ku, aku hanya menyiksa diri ku sendiri.
Lalu apa yang harus aku lakukan? Melepaskannya begitu saja? Tidak ada yang harus aku lepas dalam hubungan ini. Tidak ada yang harus ku tinggalkan di sini. Aku dan dia tidak pernah memulai sesuatu hal yang harus dilepaskan.
Langkah ku terhenti bukan karena tidak ingin melepaskan dia dan membiarkannya terbang ke surga. Bukan tidak bisa menerima kenyataan ataupun larut dalam kesedihan. Aku hanya terhenti karena dia meninggalkan semuanya tanpa tahu semuanya. Aku bahkan belum sempat bertanya tentang perasaan ku. Aku bahkan tidak punya keberanian saat itu mengatakan padanya bahwa aku menyukaimu. Aku belum menyampaikan padanya tentang catatan yang aku buat dengan namanya ada di sana.
Aku belum bisa melangkah karena tidak ada kejelasan dari semua ini. Aku bahkan tidak tahu jawaban seperti apa yang akan dia berikan jika aku bertanya. Aku bahkan tidak tahu harus memasang wajah seperti apa jika dia menolak perasaan ku.
Aku marah padanya. Dia pergi seenaknya.
Untuk apa kembali menghubungi jika sebenarnya akan pergi selamanya?
Lalu apa yang akan aku lakukan jika aku mendapatkan jawabannya?
Aku berhenti sejenak ketika memikirkan pertanyaan ini. Jari ku kaku, pikiran tidak karuan. Aku meregangkan tubuh. Berusaha tenang jika disudutkan dengan pertanyaan yang mengejutkan. Jujur saja, aku tidak akan melakukan apapun. Lagipula tidak ada yang bisa ku lakukan sekarang. Jawaban dari perasaan itu pun tidak akan pernah bisa ku ketahui. Dia sudah pergi. Akal sehat ku mendadak berjalan, dia adalah hal yang sudah tidak bisa aku sentuh.
Tujuh tahun berlalu dan aku masih bisa menahan semuanya. Aku hidup dalam keadaan berjalan di tempat. Berharap suatu saat waktu akan kembali berjalan. Aku tidak tahu sampai mana perjalanan jatuh cinta ini akan berakhir. Toh aku pun tidak berharap banyak untuk hal ini. Mencintainya seperti ini adalah hal yang menyenangkan.
Aku kembali tertunduk–sedikit melirik salah satu figura yang sengaja ku letakkan di meja kerja. Dia sangat tampan, untuk sekarang, aku masih bisa menanggung setiap rasa sesak dari perasaan yang tak tersampaikan.
Tahun depan, dua tahun atau beberapa tahun lagi. Akan ku simpan semuanya sampai aku merasa lelah.
✦✦